10/01/2018 - 11/01/2018 - AngeLinuks

Sedang mencoba terus berbenah. Hope you enjoy it. :)

Latest Update
Fetching data...

Kamis, 18 Oktober 2018

Bangkunya di Belakang [Percikan GADIS]

Percikan terakhir. Yang ini dikembangkan dari tulisan Cokelat ini sebenarnya. Makanya mirip. Kadang kerjaan manusia memang cuma begitu aja; mengorek-ngorek apa yang ada untuk dijadikan uang supaya bisa belanja. #apaanwoy

Nggak sih bercanda. Tulisan itu saya kembangkan karena memang kepikiran ide lain. Dan ini jadi cukup romantis. Jujur aja sayatu jenis manusia yang lebih suka cerita cinta-cintaan ketimbang sejarah atau politik atau persahabatan atau lainnya. Mungkin ini sebabnya kenapa kalo lagi rajin dan ingin maraton baca cerpen koran minggu, kok saya jadi pening dan kayak tanpa sadar jemari ini mencet close tab terus tau-tau kebuka sendiri laman webtoon gitu. Sungguh misterius bukan? #yakali


===================
Bangkunya di Belakang
===================


Image from here
Bangkunya di belakang. Aku selalu tidak tahan untuk tidak menolehkan kepala dan melihatnya. Kalau kebetulan ia mengangkat wajahnya lalu tatap mata kami bertubrukan, jantungku berlompatan. Rasanya sungguh tidak karuan.

“Surat? Itu menggelikan, apa tidak ada cara lain?”

Almira memberi saran supaya aku menaruh diam-diam surat cinta ke dalam ranselnya.

“Di komik kan begitu. Cewek-cewek suka kirim surat cinta sama cowok yang disuka.”

“Kamu mah komik terus.” Aku menarik nafas dalam-dalam.

Ia anti sosial. Ia tidak senang bergaul. Ia tidak pakai smartphone. Bahkan ia hanya pakai ponsel sederhana yang hanya bisa terima sms dan telepon. Aku punya nomornya. Aku sering mengiriminya sms tanpa menyertakan nama tapi ia tidak membalasnya.

Apa aku harus mengikuti saran Almira? Mengiriminya surat cinta?

***

Bangkunya di belakang. Lagi-lagi aku menoleh tanpa sadar. Aku paling suka saat memergoki ia yang sedang tidur. Biasanya, ia meletakkan kepalanya di meja. Aku memang hanya bisa melihat ujung kepalanya, tapi aku tahu kedua matanya terpejam. Aku ingin sekali bertanya kenapa ia sering tertidur. Apakah ia insomnia? Apakah setiap malam ia terjaga? Melakukan apa? Nongkrong? Main bilyard? Bekerja?

Aku benar-benar ingin menuju bangkunya lalu duduk di depannya. Sekadar merecokinya dengan kalimat sok perhatian seperti, “Hei, mukamu pucat. Apa kamu sakit?” Padahal aku tahu benar setiap hari ia selalu berwajah pucat, seperti orang sakit.
Oh. Apakah ia memang sakit?

***

Pada hari ketika aku benar-benar membawa surat cinta untuk diletakkan di lacinya, ia tidak ada. Ia tidak masuk sekolah tanpa pemberitahuan. Alpa.

“Mungkin sakit, Frin?” Aku pura-pura iseng mendekati bangku Afrin, sekretaris kelas, untuk mengintip absensi.

Afrin hanya mengedik. “Tidak ada suratnya kok.”

“Bagaimana kalau dia sakit?” Aku mengomel pada Almira.

“Baru sehari, kan? Kamu khawatir banget, deh.”

“Tapi dia pucat. Bagaimana kalau sakitnya parah? Kalau ternyata dia punya leukimia stadium akhir dan hidupnya tinggal sebentar?”

“Astaga, Karin. Jangan berlebihan.”

Tapi aku tidak bisa tidak berlebihan ketika esoknya ia benar-benar tidak masuk sekolah. Dua hari setelahnya juga tidak. Ada yang mengganjal di perutku. Ada yang nyeri setiap kali aku menolehkan kepalaku ke belakang dan menemukan bangkunya kosong.

Malam hari, sebelum tidur, aku menyempatkan diri mengiriminya sms:

Kamu sakit?

Dan tidak dibalas.

***

Pada hari ketiga, ketika kami sudah memulai pelajaran pertama, seseorang mengetuk pintu. Kemudian ia, seseorang yang wajahnya pucat itu, masuk kelas dengan langkah pendek-pendek. Setelah Bu Yuni mempersilakannya duduk, ia berjalan ke belakang.

Kelas hening. Aku menarik napas dan mengembuskannya pelan-pelan. Ketika langkahnya mendekat ke bangkuku, kuberanikan diri untuk menyapa.

“Hai.”

Ia menghentikan langkahnya, menatapku.

“Kamu sakit? Wajah kamu pucat.”

Sedetik, aku melihat ia mengulas senyum tipis.

“Sudah baikan,” katanya. Lalu ia duduk di bangkunya.

Ada ganjalan yang rasanya anjlok dari tenggorokan, turun ke perutku dan menari-nari di sana. Di waktu yang sama, aku mulai khawatir berlebihan bahwa seisi kelas akan ramai karena aku menyapanya. Atau Bu Yuni akan menggebrak meja. Atau tiba-tiba langit runtuh dan kelasku porak-poranda?

Nyatanya tidak ada apa-apa. Kelas tetap tenang. Aku mengatur napas pelan-pelan. Ketika itulah kemudian kurasakan ponselku bergetar. Sebuah pesan singkat.

Jadi harus menungguku sakit dulu, baru kamu mau bicara? :)

Oh. Astaga. Bangkunya di belakang, semoga ia tak bisa menebak semerah apa mukaku sekarang.[]

Ninuk Anggasari
Read More

Senin, 15 Oktober 2018

AYA (Percikan GADIS)



Percikan GADIS lagi aja deh. Lagi-lagi dimuatnya udah lama. Belum sempat nulis yang laiiiiin. >///<

======
AYA
======


Punya teman pendiam (yang seperti Aya) itu tidak asyik. Kalau sedang sedih, dia cuma bermurung diri dan tidak menceritakan apa-apa. Kalau sedang gembira, wajah cantik yang kalem itu hanya akan semringah sekadarnya. Aku bosan sebangku dengan patung hidup. Jadi kupikir aku akan pindah bangku saja.

“Chika mau pindah?” Aya bertanya.

“Iya, gerah di sini, aku mau di dekat pintu saja, Ay, dengan Adnan. Kamu nggak apa-apa ya duduk sendirian?”

Aku pasti mengkhayal ketika merasa melihat ada sorot sedih di matanya. Buktinya, setelah menganggukkan kepalanya satu kali, Aya tidak berkata apa-apa. Gadis itu kembali menunduk, dan melanjutkan membaca bukunya.

***

“Berarti kamu suka pilih-pilih teman ya, Chika? Hahaha.” Adnan berceletuk begitu aku selesai bercerita tentang betapa membosankannya Aya.

“Maksudnya?” Dahiku berkerut. “Aku nggak pilih-pilih kok. Kubilang kan aku cuma bosan, Nan. Aya mungkin memang nggak butuh teman, sedangkan aku bosan kalau nggak ngobrol-ngobrol. Jadi ya aku pindah. Memangnya salah?”
Raut wajah Adnan berangsur-angsur berubah serius.

“Nggak salah.” Adnan tersenyum. “Tapi nggak ada yang nggak butuh teman. Dan setahuku teman dekat Aya itu cuma kamu, kan? Sekarang dia sendirian. Kamu nggak kasihan? Padahal, meskipun kamu sebangku dengan dia, kamu tetap bisa bergaul dengan teman yang lain, Chika. Sedangkan dia? Coba kamu…”

“Hei, kok kamu segitunya, sih? Kamu naksir Aya, ya? Ciyeeeeee!”

Sebetulnya aku asal ucap saja supaya Adnan berhenti berceramah. Tapi sepertinya, aku melihat wajah Adnan memerah.

***

Aya anak yang rajin. Biasanya, kalau aku tidak sempat mencatat, ia memperbolehkanku membawa pulang buku catatannya. Sekarang, setelah seminggu tidak sebangku lagi dengan Aya, aku ingat bahwa sudah lama aku tidak bicara dengannya.

“Hai, boleh pinjam catatan?” Setelah pelajaran Kimia usai, aku menghampiri meja Aya.

Aya mendongak. “Chika? Aya kira Chika nggak mau berteman lagi dengan Aya.”

Aku mengernyit. “Eh? Kata siapa?”

Aku seperti ditampar ketika kemudian melihat Aya cepat-cepat mengusap air mata yang mengalir di pipinya. Ia menangis. Aku segera duduk di sebelah bangkunya, dan memegang bahunya. Selama ini aku tidak pernah melihatnya menangis.

“Aya kira Chika nggak suka jadi teman Aya. Aya minta maaf kalau Aya punya salah. Aya sendirian terus seminggu ini. Rasanya aneh. Dada Aya sesak. Aya ingin Chika duduk di sini lagi tapi Chika pasti nggak mau dan Aya…” Suaranya terputus oleh isakan.

Hatiku mencelos. “Teman kita banyak, Aya. Tiga puluh lebih. Harusnya Aya berteman dengan semuanya. Kenapa Aya sedih hanya karena nggak sebangku lagi dengan Chika?”

Aya masih menangis. Aku tidak tahu bagaimana rasanya jadi dia. Tapi seminggu terakhir ini Adnan menjejaliku dengan nasihat yang terus diulang-ulang. Kata Adnan, semua orang punya karakteristik berbeda-beda. Kalau aku suka keramaian, mungkin Aya tidak suka. Kalau aku suka berkenalan, mungkin Aya tidak suka. Dan kegunaan seorang teman, kata Adnan, adalah untuk memahami dan menerima setiap karakter dari temannya.

“Iya. Aya akan berteman dengan yang lain. Tapi Aya sedih kehilangan Chika...”

Aku tertawa sekaligus merasa terharu sampai mataku berair. Aku tidak tahu ia menganggapku seberharga itu. Aku merasa bersalah, tapi juga bersyukur jika dengan ini Aya menyadari bahwa berteman dengan semua orang adalah hal yang penting. Setelah isak kecil Aya mereda, tiba-tiba aku punya ide bagus.

“Ngng, Aya. Untuk permulaan, kamu mau kucarikan teman sebangku yang baru nggak?”

Aya menatapku, terlihat agak ragu. Tapi ketika kemudian ia mengangguk, aku segera memutar kepalaku untuk mencari calon teman sebangku Aya. Aku sudah menduga bahwa orang itu memperhatikan kami. Mungkin sedari tadi ingin mendekat tetapi tidak berani.

Kulambaikan tangan untuk memanggilnya. “Hoi, Adnan! Coba ke sini!”

Aku tahu Adnan pasti akan gembira sekali.***

Ninuk Anggasari
Read More

Kamis, 11 Oktober 2018

Ketika Halaman Tetangga Tidak Ada Rumputnya

Image from here
Beberapa hari yang lalu saya ngobrol dengan seseorang. Katanya begini; "Seandainya ada orang yang kayaaa sekali, tapi sekelilingnya miskin semua gitu, rasanya gimana ya? Kan nggak seru kalo tetangganya nggak sepadan."

Saya mengernyit. "Memangnya ada yang kayak gitu ya?"

Katanya, ya seandainya aja. Intinya, gimana rasanya jadi orang yang kekayaannya melimpah di tengah-tengah masyarakat yang kekurangan. Kan nggak seru ya jadinya karena nggak ada saingan. Padahal manusia suka banget bersaing dan membanggakan apa yang dia capai sama tetangga sekitarnya.

Terus saya mengernyit lagi dan jadi mikir; "WOW. KOK SAYA BELUM SAMPE KESITU YA?"
Terus lagi, saya kok jadi ingat teorinya Maslow.
Image from here

Oh, pikir saya. Mungkin karena saya masih sibuk berkutat di tiga piramid paling bawah, belum sampai ke tingkat yang hijau itu. Maka yang saya pikirkan baru sebatas "Besok makan apa ya?" "Kalau nabung tiap bulan segini, maka kami akan mampu beli rumah dalam waktu berapa tahun cahaya?" Yang gitu-gitu. Sungguh pikiran berat yang nampaknya nggak perlu lagi ditambah dengan; "Wuh tetangga aku punya Pajero waaaaw besok kuharus beli juga." Yha. Kalo kayak kami yang mikir begitu, mau dilanjut apa dong kalimatnya? "... kuharus beli tossa biar minimal punya juga kendaraan yang agak lega?"

Belum pernah saya terpikir untuk memiliki sesuatu demi jadi lebih baik daripada tetangga. Tadinya saya kira begitu. Hingga kemudian saya sadar bahwa, kalau bukan menyangkut materi, ternyata saya ini irian juga. Kadang-kadang sampai santak banget gitu irinya. Yea.

Dua hari yang lalu misalnya. Untuk pertama kali sepanjang sejarah pengontrakan (maksudnya selama ngontrak di rumah yang kami tempati sekarang ini :3), saya iri sama tetangga sebelah. FYI kontrakan kami ini di kampung, bukan perumahan. Tapi sebelah kanan saya nggak ada rumah, hanya tanah kosong bekas ditanami singkong. Sebelah belakang, tanah kosong lagi. Cuma sebelah kirilah ada sebuah rumah, yang masih satu pemilik dengan rumah yang kami kontrak. Kadang anak si pemilik ini tinggal di bagian belakang rumah, tapi lebih seringnya di rumah sebelah ini nggak ada orang. Ya rumah kosong aja. Padahal besaaar lho rumahnya, tapi nggak terawat. Pintu perotol, dinding kusam, halaman banyak daun kering, rumput liar di mana-mana. Pokoknya, bersanding dengan rumah kosong ini, rumah yang kami kontrak jadi terlihat lumayan bersih gitu.

Nah, dua hari yang lalu, tiba-tiba ada seorang ibu yang bersihin halaman rumah sebelah. Kata si ibu, beliau disuruh pemilik rumah. Rumput dan lumut yang nempel di paving depan dikerik sampai bersih. Semak-semak dan tanaman menjalar dibabat habis. Sampah-sampah disapu. Keesokan harinya saya jadi takjub sendiri karena, waaaah, rumahnya jadi bersih dan indah. Enak banget dilihatnya.

Tapi efek samping yang ditimbulkannya adalah; kini kontrakan kami yang terlihat kumuh.

Lalu di sore hari yang sama, kami sekeluarga bersih-bersih halaman. Iya beneran sekeluarga karena Nina ikutan juga meski cuma milih-milihin belimbing jatuh terus dilemparin lagi. Yang saya kagum dari diri saya sendiri (-___-"), kok bisa ya saya baru sadar kalau halaman kami sekotor itu. Daun kering, banyak, tanaman menjalar, banyak, bahkan ada banyak rerimbunan bunga-bunga tunggal yang sama anak kecil sering dibikin mahkota itu lho. Ini halaman apa kebun belakang sekolahnya Nobita sih sebenernya?

Beberapa hari sebelumnya, padahal saya sempat menyapu halaman dengan sapu lidi. Kegiatan saya menyapu halaman ini jarang banget terjadi. Mungkin karena nggak yakin saya mampu bikin halaman bersih, suami saya berkomentar; "gimana sih kok nyapunya pindah-pindah? Masa yang sana masih kotor udah pindah ke situ."

Saya sok tahu; "Kan yang itu cuma daun? Ngapain disapu, kan ntar juga lama-lama dia terurai sendiri balik jadi tanah lagi yakan yakannn?"

"Ya kalo maunya kayak gitu kenapa nggak dibiarin aja sekalian nggak usah disapu."

Nggg. Ya iya sih.

Sampah halaman depan memang daun-daun semua. Ada sampah plastik tapi cuma sedikit, dan yang sedikit inilah yang saya sapu. Pantas kalau diprotes. Pantas kalo saya nggak pernah merasa nggak nyaman dengan halaman yang kotor. Pantas kalo yang bikin saya sadar bahwa daun dan rumput liar dan semak belukar adalah termasuk sampah yang tidak sedap dipandang, hanya saat tetangga sebelah kami sudah tidak punya sehelaipun rumput di halamannya.

Berguna juga berarti ya, sifat iri manusia. :3

Eh, tapi ....


Kalau halaman tetangga sudah banyak semak belukar dan daun kering lagi, semangat bersih-bersih saya tetap ada nggak ya? Kan nggak seru kalau tetangganya nggak sepadan... #eh
Read More

Senin, 08 Oktober 2018

Pacar (Percikan GADIS)

Percikan lagi, udah lupa dimuat di GADIS edisi berapa, bahkan tahunnya pun lupa juga. Kayaknya 2012, atau 2013 ya. Ya ampun lama sekali itu. Udah bertahun-tahun berlalu T====T Mungkin karena nggak perlu pakai seragam dan sepatu setiap hari, atau karena udah nggak ada lagi ujian kenaikan kelas terus lulus-lulusan, waktu terasa demikian cepat melesat-lesat. :3

Btw, doain supaya bisa nulis fiksi (dan dimuat media) lagi ya aquuuu. Plizz kukangen kurindu berat. T====T


==============
PACAR
==============


Aku punya teman, yang katanya, tidak bisa hidup jika tidak punya pacar. Oleh karena itu ia sering sekali berganti-ganti pacar. Putus dengan Brian, jadian dengan Sebastian. Belum lama berselang, hubungannya dengan Sebastian putus dan temanku segera pacaran dengan Adam.

Ia nyaris tidak pernah lama-lama jomblo. Ketika kutanya kenapa, ia bilang demi citra. Menurutnya, seseorang yang kelamaan menyandang status jomblo itu mengenaskan.

“Kok kamu bisa sih enam belas tahun belum pernah pacaran sekalipun?” ia bertanya padaku sambil menyusut air matanya dengan tisu.

Ya ya, ini sudah kali ke sekian ribu Prisillia mengungkit statusku yang belum pernah punya pacar setiap ia berada di kondisi buruk.

Semalam ia baru putus dengan Adam. Aku belum tanya gara-gara apa. Yang jelas, temanku yang sangat cantik ini nampak patah hati habis-habisan.

“Pokoknya kalau sampai seminggu Adam nggak ngajak aku balikan, aku mau pacaran sama Singgih ajaaa ....” rajuk Prisillia.

Aku tersedak.

“Uhuk! Uhuk! Singgih?”

“Iyaaa,akhir-akhir ini dia suka deketin aku. Kan nggak papa ya aku jadian sama dia aja? Biar jelek, kan yang penting aku punya pacar...”

Aku tertegun.

“Kalilaaa...”Prisillia merengek lagi.

“Apa?”

“Kamu dengerin aku, kan? Pokoknya kalau sampai seminggu Adam nggak ngajak aku balikan aku mau pacaran sama Singgih ajaaa ....”

Aku menghela nafas.

Tidak tahu harus tertawa miris atau menangis saja.

***

Biar jelek, kan yang penting punya pacar.

Aku mengingat dengan jelas kalimat Prisillia seminggu yang lalu, dan menjadi pendiam sejak saat itu. Teringat lagi olehku obrolan dengan Singgih pada suatu waktu.

Aku dan Singgih sedang sama-sama menunggu jemputan pulang. Kalau tidak salah, kutanyakan padanya kenapa sepertinya aku tidak pernah melihat ia punya pacar. Bukankah punya pacar akan membuatnya keren?

“Ah, kamu ada-ada saja, La. Punya pacar atau jomblo itu kan bukan parameter keren atau tidaknya seseorang,” katanya sambil tersenyum geli.

Aku juga tersenyum. Jika nanti Prisillia kembali mengungkit kenapa aku tidak kunjung punya pacar, aku bisa mengingat kalimat itu untuk kujadikan motivasi.

“Hei, jalan kok sambil melamun, La?”

Aku terkejut dengan tepukan halus di pundakku. Kutemukan Singgih sedang tersenyum sopan sambil membenarkan letak kacamatanya. Aku tertegun. Beberapa detik kemudian aku balas tertawa lalu segera mempercepat jalanku menuju kelas. Terasa sekali sapaan singkat itu membuat mukaku memanas.

***

“Kalilaaaaa!”

Suara cempreng yang sangat manja itu milik Prisillia. Cewek itu memelukku berlebihan ketika aku baru saja duduk. Kulihat kedua matanya sembab. Semalaman ia pasti banyak menangis. Ini sudah lewat seminggu, apa penyebab sedihnya masih gara-gara Adam?

“Kenapa?”

“Singgih...Singgih....” ia terisak.

“Singgih? Kenapa Singgih?” Suaraku terdengar aneh dan jadi mirip mencicit.

“Singgih bilang dia nggak mau jadi pacarku. Katanya selama ini aku salah paham. Dia nggak pernah suka sama aku. Huhuhu… Aku maluuu....”

“Apa?!”

“Terus dia bilang, aku akan lebih menarik kalau nggak ganti-ganti pacar terus. Mana aku diceramahin, bukannya punya pacar itu nggak penting? Kata Singgih, gitu. Huhu. Aku maluuu...”
Aku akan terlihat sangat tidak berperasaan jika tertawa di depan Prisillia. Tapi sungguh, penyebab kepedihan dan patah hati Prisillia kali ini membuatku merasa begitu lega.***

Ninuk Anggasari
Read More