Ketika Halaman Tetangga Tidak Ada Rumputnya - AngeLinuks

Sedang mencoba terus berbenah. Hope you enjoy it. :)

Latest Update
Fetching data...

Kamis, 11 Oktober 2018

Ketika Halaman Tetangga Tidak Ada Rumputnya

Image from here
Beberapa hari yang lalu saya ngobrol dengan seseorang. Katanya begini; "Seandainya ada orang yang kayaaa sekali, tapi sekelilingnya miskin semua gitu, rasanya gimana ya? Kan nggak seru kalo tetangganya nggak sepadan."

Saya mengernyit. "Memangnya ada yang kayak gitu ya?"

Katanya, ya seandainya aja. Intinya, gimana rasanya jadi orang yang kekayaannya melimpah di tengah-tengah masyarakat yang kekurangan. Kan nggak seru ya jadinya karena nggak ada saingan. Padahal manusia suka banget bersaing dan membanggakan apa yang dia capai sama tetangga sekitarnya.

Terus saya mengernyit lagi dan jadi mikir; "WOW. KOK SAYA BELUM SAMPE KESITU YA?"
Terus lagi, saya kok jadi ingat teorinya Maslow.
Image from here

Oh, pikir saya. Mungkin karena saya masih sibuk berkutat di tiga piramid paling bawah, belum sampai ke tingkat yang hijau itu. Maka yang saya pikirkan baru sebatas "Besok makan apa ya?" "Kalau nabung tiap bulan segini, maka kami akan mampu beli rumah dalam waktu berapa tahun cahaya?" Yang gitu-gitu. Sungguh pikiran berat yang nampaknya nggak perlu lagi ditambah dengan; "Wuh tetangga aku punya Pajero waaaaw besok kuharus beli juga." Yha. Kalo kayak kami yang mikir begitu, mau dilanjut apa dong kalimatnya? "... kuharus beli tossa biar minimal punya juga kendaraan yang agak lega?"

Belum pernah saya terpikir untuk memiliki sesuatu demi jadi lebih baik daripada tetangga. Tadinya saya kira begitu. Hingga kemudian saya sadar bahwa, kalau bukan menyangkut materi, ternyata saya ini irian juga. Kadang-kadang sampai santak banget gitu irinya. Yea.

Dua hari yang lalu misalnya. Untuk pertama kali sepanjang sejarah pengontrakan (maksudnya selama ngontrak di rumah yang kami tempati sekarang ini :3), saya iri sama tetangga sebelah. FYI kontrakan kami ini di kampung, bukan perumahan. Tapi sebelah kanan saya nggak ada rumah, hanya tanah kosong bekas ditanami singkong. Sebelah belakang, tanah kosong lagi. Cuma sebelah kirilah ada sebuah rumah, yang masih satu pemilik dengan rumah yang kami kontrak. Kadang anak si pemilik ini tinggal di bagian belakang rumah, tapi lebih seringnya di rumah sebelah ini nggak ada orang. Ya rumah kosong aja. Padahal besaaar lho rumahnya, tapi nggak terawat. Pintu perotol, dinding kusam, halaman banyak daun kering, rumput liar di mana-mana. Pokoknya, bersanding dengan rumah kosong ini, rumah yang kami kontrak jadi terlihat lumayan bersih gitu.

Nah, dua hari yang lalu, tiba-tiba ada seorang ibu yang bersihin halaman rumah sebelah. Kata si ibu, beliau disuruh pemilik rumah. Rumput dan lumut yang nempel di paving depan dikerik sampai bersih. Semak-semak dan tanaman menjalar dibabat habis. Sampah-sampah disapu. Keesokan harinya saya jadi takjub sendiri karena, waaaah, rumahnya jadi bersih dan indah. Enak banget dilihatnya.

Tapi efek samping yang ditimbulkannya adalah; kini kontrakan kami yang terlihat kumuh.

Lalu di sore hari yang sama, kami sekeluarga bersih-bersih halaman. Iya beneran sekeluarga karena Nina ikutan juga meski cuma milih-milihin belimbing jatuh terus dilemparin lagi. Yang saya kagum dari diri saya sendiri (-___-"), kok bisa ya saya baru sadar kalau halaman kami sekotor itu. Daun kering, banyak, tanaman menjalar, banyak, bahkan ada banyak rerimbunan bunga-bunga tunggal yang sama anak kecil sering dibikin mahkota itu lho. Ini halaman apa kebun belakang sekolahnya Nobita sih sebenernya?

Beberapa hari sebelumnya, padahal saya sempat menyapu halaman dengan sapu lidi. Kegiatan saya menyapu halaman ini jarang banget terjadi. Mungkin karena nggak yakin saya mampu bikin halaman bersih, suami saya berkomentar; "gimana sih kok nyapunya pindah-pindah? Masa yang sana masih kotor udah pindah ke situ."

Saya sok tahu; "Kan yang itu cuma daun? Ngapain disapu, kan ntar juga lama-lama dia terurai sendiri balik jadi tanah lagi yakan yakannn?"

"Ya kalo maunya kayak gitu kenapa nggak dibiarin aja sekalian nggak usah disapu."

Nggg. Ya iya sih.

Sampah halaman depan memang daun-daun semua. Ada sampah plastik tapi cuma sedikit, dan yang sedikit inilah yang saya sapu. Pantas kalau diprotes. Pantas kalo saya nggak pernah merasa nggak nyaman dengan halaman yang kotor. Pantas kalo yang bikin saya sadar bahwa daun dan rumput liar dan semak belukar adalah termasuk sampah yang tidak sedap dipandang, hanya saat tetangga sebelah kami sudah tidak punya sehelaipun rumput di halamannya.

Berguna juga berarti ya, sifat iri manusia. :3

Eh, tapi ....


Kalau halaman tetangga sudah banyak semak belukar dan daun kering lagi, semangat bersih-bersih saya tetap ada nggak ya? Kan nggak seru kalau tetangganya nggak sepadan... #eh


EmoticonEmoticon