04/01/2013 - 05/01/2013 - AngeLinuks

Sedang mencoba terus berbenah. Hope you enjoy it. :)

Latest Update
Fetching data...

Selasa, 16 April 2013

S(ib)uk.Ses



Aku pernah PKL di tempat yang—kalau dilihat dari jumlah orang yang bercita-cita ingin kerja di sana, sepertinya itu adalah tempat yang bagus. Gajinya tetap; kurang lebih dua juta setiap bulannya. Lalu, mereka memakai seragam rapi hingga senantiasa terlihat cantik dan tampan. Yang perempuan memakai rok span di atas lutut, rambut bercepol, bermake-up tebal dan memakai shadow-shadow-yang-maha-keren di kelopak matanya. Yang laki-laki berkemeja dan berdasi. Rambutnya basah. Tampan terus, terus tampan, sepanjang masa.

Kebetulan, salah seorang pegawai baru (yang outsourcing dan masih training) adalah kakak tingkatku di kampus. Satu jurusan tapi lain program studi. Orangnya cantiiiiik sekali. Mungil dan menggemaskan. Pertama kali mengobrol, ia menyenangkan. Gaya nyinyirnya juga, kupikir, tidak begitu menyebalkan. Kalimat yang kuingat terus sampai hari ini darinya, adalah seperti ini:

“Aku nggak suka sama Pak ****** itu. Musuh banget. Kalo aku sekarang main ke kampus terus ketemu Pak itu, pengen aku bilang; ‘Lihat nih, Pak, sekarang saya udah sukses!’ Gitu.”

Beberapa hari kemudian aku mulai sebal pada Mbak Cantik untuk banyak hal. Kata temanku, dia sok sekali. Aku tidak tahu banyak, tapi yang membuatku tidak suka, adalah karena setiap selesai makan siang, dia jadi satu-satunya orang yang tidak meletakkan piringnya sendiri ke wastafel. Dia juga senang memerintah. Aku sempat dengar ia dimarahi Ibu Pimpinan padahal Ibu itu baik sekali dan nyaris tidak pernah marah.

Beberapa hari setelah kedatangannya, Si Mbak Cantik dipindahkan ke luar kota. Hahahaha.
#dankenapatertawa =))

Aku bukan ingin bilang betapa menyebalkannya mbak itu, sebetulnya. Aku cuma ingin membahas kalimatnya soal ‘sekarang saya udah sukses!’. Kalau teringat lagi, aku suka merenung dan memikirkan kalimat itu lagi dan lagi. Mbak itu mengukur suksesnya dengan parameter apa? Bahwa ia sudah bekerja di tempat yang bergengsi, biarpun outsourcing? Bahwa ia sudah bisa makan dan tidak menaruh piringnya di wastafel? Bahwa ia bisa memerintah siapa saja sesuka hatinya?

Waktu PKL di tempat itu, aku masuk jam 8 pagi dan pulang jam 4 sore. Aku tidak melakukan apa-apa tapi aku sering lelah karena yang kulakukan bukan hal yang menyenangkan. Aku sering terlambat masuk sekitar satu s/d dua puluh menit setiap harinya (#plak). Aku jarang melakukan apapun kecuali mengurusi berkas-berkas. Tapi, di siang hari aku sudah akan lapaaaaaar sekali. Dan pada jam sore aku akan sangat gembira menanti-nanti waktu pulang. Begitu setiap hari. Tidak capek-capek banget, bukan? Nyatanya aku capek.

Kabar wownya, yang kulakukan sama sekali tidak ada apa-apanya dibanding dengan yang dilakukan karyawan-karyawan aslinya. Mereka, yang bergaji rata-rata dua-tiga juta rupiah itu, sudah harus selalu standby di kantor pada pukul 7 pagi. Jam pulang mereka harusnya pukul 16.00, kalau tidak salah. Tapi setiap hari mereka lembur dan hampir selalu pulang pukul 8 malam. Kadang, beberapa karyawan teladan dengan sangat berbesar hati membawa pulang berkas-berkas yang tidak selesai, untuk dikerjakan di rumah. Coba bayangkan betapa mereka akan sangat teramat merasa lelah.

“Rasanya, kayak tidur sebentar tiba-tiba pagi lagi. Kerja lagi..” Begitu kata seorang Mas karyawan yang masih muda. Ia baru punya satu anak dan masih batita. :”)

Jadi, Mas itu hanya bertemu anaknya di malam hari. Iya kalau si anak belum tidur, kan. Juga, iya kalau si Mas itu belum capek dan tidak keburu tepar. Oh, ya, tambahan wow lagi, kalau Sabtu, kadang para karyawan harus masuk untuk lembur.

Aku tidak berani bertanya berapa uang lembur mereka. Mungkin banyak sekali, ya. .___.

Jadi ...

................................sudah sore, aku pulang dulu, ya. =="
Read More

Rabu, 10 April 2013

Ar(u/i)ng



Cerpen Ninuk Anggasari

Aku cuma tidak punya cara lain untuk mengawetkan kamu dalam kenangan. Maka hari ini, kubilang padamu kita tak bisa pulang bersama padahal aku menguntitmu diam-diam. Nekat dan konyol, aku mencoba merekam. Membuat film dokumenter tentang kamu, Arung Rahmawan. Sepertinya ini akan jadi satu-satunya kegiatan paling berkesan. Iya, kan?
“Arung!” Seseorang memanggilmu. Itu Gis. Temanmu di ekskul pecinta alam. “Mau pulang, ya? Kamu sendirian? Mana Karin?”
Aku mengarahkan handycam dari celah batang sebuah pohon yang tak terlalu jauh. Tidak bisa merekam wajahmu karena kamu berdiri membelakangiku.
“Iya nih sendirian. Ada apa, Gis?” ujarmu ramah, seperti biasa.
“Sebentar, ya.” Gis memencet-mencet ponsel dan bicara singkat dengan seseorang. Singkat sekali. Kemudian dia menutup ponsel dan kembali bicara denganmu. “Kamu ingat nggak, aku pernah bilang ada anak baru yang ingin kenalan sama kamu? Dia satu kosan denganku. Tungguin sebentar, pliiis, dia sedang kemari. Mumpung lagi nggak ada Karin. Hihi.”
Wow! Aku bisa mendengar hantaman keras pada sisi kiri hati kecilku. Handycamku tetap menyorotmu ketika kemudian aku melihat kedatangan gadis itu. Postur semampai dengan lekuk-lekuk memukau. Poninya miring, dan ketika bibirnya tersungging ada lesung di kedua pipinya. Manis sekali. Dia datang dari arah kiri, memasuki sorotan kamera ketika bergabung dengan kamu dan Gis. Lalu dengan malu-malu, dia mengulurkan tangan kanan. Menjabatmu.
“Kikan,” ujarnya pelan. Pelan sekali. Jika saja aku berdiri di balik satu pohon lebih jauh, suaranya pasti tak terdengar.
Kulihat tanganmu bergerak menyambutnya, menggenggam tangannya, barangkali dengan senyum ramah yang hangatnya luar biasa. Kutebak dada gadis itu berdesir lembut ketika kedua telapak tangan kalian bersentuhan. Pipinya yang mulus itu pasti sedang memanas. Terbukti, karena setelah jabat manis itu, kulihat dia tertunduk malu.
“Kok berani minta kenalan? Jarang lho ada cewek yang kayak kamu,” ujarmu, serius tapi bersahabat.
Dia cuma tersenyum, tersipu.
“Eh, nggak tukeran nomer hape, nih?” Gis menjadi penengah.
“Oh iya, mau kamu catat?” Kamu bicara penuh percaya diri. “Kosong delapan lima,”
Kikan, setelah menggaruk kikuk dahinya, terburu-buru mengeluarkan ponsel untuk mencatat nomor yang kamu diktekan. Lihat gadis itu. Polos sekali, ya? Kalau aku jadi kamu, aku akan langsung menjadikannya nominasi cewek terbaik untuk menjadi teman kencan di malam Minggu. Dan sepertinya aku jadi tahu kenapa selama ini kamu tak pernah menyukaiku.
“Oke, salam kenal, Kikan. Maaf ya, aku pergi dulu. Lagi agak repot, nih.”
Aku tidak benar-benar melihat, tapi kamu mungkin tersenyum sekilas. Lalu setelah berpamitan, kamu hadap kanan dan berjalan pelan.
Kuarahkan kamera pada Kikan dan Gis. Gis meloncat-loncat norak sambil mengguncang-guncang bahu Kikan. Sementara Kikan tetap tertunduk. Kuperbesar tampilan gambar pada handycam supaya terfokus pada ekspresinya. Merona? Oh tidak, gadis ini benar-benar jatuh cinta.
*
Film dokumenter spektakuler hasil rekamanku sudah jadi. Ternyata isinya tidak hanya tentang kamu. Aku mencampurnya dengan beberapa video Kikan, juga rekaman isi hatiku sendiri. Selama tiga minggu hampir penuh aku mengedit dan memberi berbagai efek supaya film buatanku jadi seperti sungguhan.
Pagi ini, seperti tujuh hari yang telah berlalu sebelumnya, tidak ada yang tahu aku di sini. Bosan dan tidak ada kerjaan, kunyalakan laptop jingga milikku. Lalu aku menonton film itu lagi.
“Halo, namaku Arung Rahmawan. Laki-laki ganteng, pecinta alam,” ujar gambarmu di layar laptop.
Aku tersenyum dengan kepala miring. Aku paling suka adegan ini. Satu-satunya adegan yang kuambil secara terang-terangan. Ketika itu kupaksa kamu memberikan salam perkenalan ala peserta-peserta fake reality show.
“Terus?” Suaraku terdengar.
“Terus apa?”
“Lanjutin ngomongnya!”
“Aku—“ kamu menatap kamera, lama. “Ah, ngomong apa lagi dong?”
“Ahahahah, tampang kamu, ya ampun.”
“Udah Ring, matiin! Matiin!”
“Tanggung, lagi bagus nih.”
“Ring?! Matiin kubilang! Ring!”
Gambar bergerak-gerak. Terdengar langkah kakiku yang berlarian sambil terkikik. Layar berguncang-guncang tidak stabil. Ketika itu kamu mengejarku keliling kelas. Setengah marah dan memohon supaya rekaman bodohmu dihapus. Masih terbahak, aku terus saja berlari. Menyelamatkan diri dan menyelamatkan gambar ini.
“HAHAHA.” Suara tawaku yang terakhir.
Kemudian adegan berganti.
Aku masih tersenyum sendiri ketika tiba-tiba ponselku berdering. Mataku membelalak. Sedikit, ah tidak, aku sangat terkejut membaca namamu.
Arungnya Aringcalling?
“Ha—”
“Halo! Kenapa dari kemarin hape kamu nggak aktif?”
Aku tercekat. Sebetulnya ponselku sudah tidak aktif sejak seminggu yang lalu. Tapi aku sama sekali tidak berharap kamu akan mencariku. Bukankah sejak dulu memang seperti itu aku di matamu? Tidak penting, bukan?
“Kamu di mana, Ring?! Menghilang ke Jogja lagi? Dasar anak nakal! Kamu belum ajarin aku mengedit foto, kan? Padahal lagi butuh banget ini!” Kamu bicara panjang lebar.
Aku tergelak, berusaha kuat menahan supaya mataku yang berkaca-kaca tidak menjatuhkan air mata. “Kamu mencariku cuma untuk ngajarin edit foto?”
“Apa?”
“Oh, nggak papa. Hahaha.” Air mataku menetes sungguhan tapi kamu tidak boleh tahu. “Aku lagi di Jepang. Jangan ganggu, ya. Lagi jalan-jalan di Menara Eiffel, nih.”
“Nah, kan. Eiffel sejak kapan pindah ke Jepang? Kumat nih anak.”
Klik.
Aku menangis. Kupandangi lagi layar laptop yang memburam akibat penglihatanku terhalang air mata. Meskipun samar, aku hafal bahwa film sedang menampilkan adegan ketika kamu dan Kikan sedang makan siang berdua. Hatiku perih.
*
Kamu lebih suka memanggilku Aring, padahal nama asliku Karin. Tapi tak apa, aku suka dipanggil apa saja. Karena yang paling penting adalah fakta bahwa aku ada, biarpun sedikit, di duniamu.
“Karin, makan buburnya dulu yuk, Sayang.” Ini sudah kali ketiga dalam sehari mama menyodoriku makanan.
Aku tidak mau makan. Bukannya manja, tapi tidak selera. Menu makanan yang disuguhkan tempat ini tidak enak. Hanya bubur tawar, dan sesekali telur rebus. Aku lebih suka disuntik dengan jarum tajam ketimbang harus susah payah menelan makanan. Terlebih lagi aku bosan. Jenuh. Tempat berbau obat-obatan ini tidak pernah membuatku betah.
“Kamu kangen sekolah, ya?” Mama mengelus rambutku dengan tatapan sendu. “Semalam Arung ke rumah, dia tanya kamu di mana, pasti dia juga kangen kamu.”
“Sama Kikan ya, Ma?”
“Siapa Kikan?”
“Ah, itu, ceweknya Arung.”
“Arung punya pacar sekarang? Wah, kemajuan, ya. Bukannya kamu bilang dia cuek sama perempuan?”
“Hehe, nggak segitunya lah, Ma. Karin rasa setiap cowok juga butuh pacar.”
Mama terkikik. “Mama baru tahu kalau pacar itu kebutuhan.”
Aku tercenung. Teringat bahwa selama ini aku tidak pernah butuh pacar. Karena menyukaimu, mendoakanmu, mengingatmu sepanjang waktu, adalah jauh lebih indah daripada punya pacar. Apalagi, kamu juga tidak pernah punya pacar.
Tentu saja Kikan adalah pengecualian.
Kikan adalah satu-satunya gadis pemberani yang mau berbesar hati mendekati kamu lebih dulu. Aku punya beberapa rekaman kisah kasih kalian. Sejak perkenalan, pendekatan, sampai suatu pagi yang basah itu. Ketika aku melihat Kikan menggelayut di bahumu pada gerimis yang begitu semu. Esoknya, kudengar kamu dan Kikan jadian.
“Kok melamun?” Mama mengelus rambutku lagi.
Lama. Dipandanginya aku dengan penuh perhatian. Aku tahu apa yang mama pikirkan, tetapi aku berusaha memberinya senyuman. Kemudian mama merengkuhku. Mendekapku erat sekali. Kudengar isakan tertahan saat beliau berbisik.
“Karin anak Mama satu-satunya ....”
Hangat, aku membalas pelukan mama. Tapi aku tidak menangis. Bahkan ketika tahu-tahu aku merasakan dadaku luar biasa sakit. Aku mempererat pelukanku kepada mama. Kurasakan hidungku menghangat oleh darah segar.
“Karin sayang Mama ....”
Kemudian pandanganku mengabur.
*
Rumah Sakit!
Halo, namaku Arung Rahmawan. Laki-laki ganteng, Pecinta Alam.
Arung berlari, terburu-buru menapaki lorong rumah sakit. Penampilannya acak-acakan dengan peluh yang membasahi pelipis dan sebagian rambutnya. Mama Karin meneleponnya, memberitahu bahwa Karin sedang kritis dan mengalami koma.
Dasar bebal!
Arung mengutuk Karin yang sejak awal tidak pernah bilang bahwa dia sedang sakit. Selama seminggu ini Arung bahkan berfikir gadis itu sedang bersenang-senang entah di kota mana. Seperti yang biasa Karin lakukan setiap kali menghilang. Pergi belanja, ke pantai, ke hutan. Ke tempat jauh yang tidak pernah bisa Arung temukan!
“Rung, kalo kamu kehilangan aku, rasanya gimana?” Karin pernah bertanya.
Waktu itu Karin sedang membantu Arung mencari kunci motornya yang terselip entah dimana. Arung memang mudah sekali lupa, mudah kehilangan barang apapun yang dia punya.
“Ha? Yaaa, ngng ... biasa aja.” Arung mengamati tanah berumput, barangkali kunci motornya terjatuh disana.
“Oh, ya? Kalo aku mati muda terus jadi hantu penasaran?”
“Orang seusil kamu nggak mungkin mati muda, dan kalaupun jadi hantu juga nggak akan penasaran.”
“Kenapa nggak mungkin mati muda?”
“Karena orang yang mati muda itu cuma orang baik.”
“Oh, ya?”
“Oh, ya! Ketemu!” Dia mengacungkan kunci motor yang terselip di sela-sela rerumputan hijau. Pasti tidak sengaja terjatuh ketika tadi dia terburu-buru memasukkannya ke dalam tas.
Arung tiba di ruang ICU. Jantungnya berdegup ketika menemukan sosok sahabat baiknya terbaring lemah dengan slang infus dimana-mana. Perlahan, digenggamnya pergelangan tangan Karin yang tidak disemati slang.
“Halo, Ring,” panggilnya lirih. “Masih tidur, ya?”
*
Barangkali Arung selalu ngotot memanggil gadis itu Aring supaya nama keduanya terdengar serasi. Suatu hari, Arung pernah tanpa sengaja mengukir kata Ar(u/i)ng di sebuah kertas. Ketika Karin melihatnya, gadis itu terperangah sekaligus terlihat begitu senang dalam waktu yang sama.
“Ih, romantis banget ya gabungan nama kita,” desaunya.
Waktu itu Arung hanya tertawa. Sama sekali tak menyangka bahwa berbulan-bulan setelah kejadian itu, dia akan melihat kertas bertuliskan Ar(u/i)ng itu tertempel di sebuah benda yang diserahkan Kikan kepadanya.
“Aku nemu ini, di meja kecil dekat ranjangnya Karin waktu tadi mau naruh buah,” kata Kikan. “Punya kamu atau punya Aring, ya?”
Arung mengernyit memandangi benda itu. Sebuah kotak berisi sekeping CD.
“Punya Aring. Tapi aku ingin lihat apa isinya.”
*
Sore sedang mendung ketika Arung datang dan membawakan Aring bunga. Dia berlutut, dan tersenyum manis dengan mata berkilat yang berusaha ceria.
“Mendungnya tebal sekali, Ring. Sepertinya bakal hujan.” Arung menengadah.
Langit mungkin sedang sendu, atau sedang tak kuasa membendung rindu. Dan meski sudah berusaha keras, Arung tak bisa menahan diri untuk tak merasa pilu. Ketika perlahan-lahan rintik hujan turun dan membasahi pakaiannya, kedua bola mata Arung berkaca-kaca. Air hangat yang lain meleleh di pipinya.
Hujan membuat bunga-bunga yang tadi ditaburkan Arung membasah dan bercampur dengan tanah. Nisan putih yang tadinya bersih mulai terciprati lumpur. Arung mengusapnya lamat-lamat. Perlahan, dia rebah sampai sisi kanan tubuhnya bersentuhan dengan tanah.
Tiga bulan yang lalu, Karin terbangun dari koma. Arung senang bukan main, seperti ada himpitan yang tahu-tahu melonggar begitu saja. Dia menggenggam lembut jemari gadis itu. Keduanya saling tersenyum dan memandang untuk waktu yang lama.
“Kamu mirip sleeping beauty kalau lagi tidur lama,” Arung tertawa kecil.
Seleret air mata merembes menjatuhi bantal alas kepala Karin. Gadis itu menghela nafas seolah bersiap untuk kalimat panjang, “Kalau kamu kehilangan aku ... rasanya gimana?”
Arung tercekat. Dadanya terhimpit tanpa bisa mengatakan apa-apa.
“Aku nggak tahu,” katanya kemudian. “Aku nggak bisa membayangkan bagaimana rasanya.” Nafas Arung tersengal.
Karin hanya tersenyum, nafasnya terhembus begitu pelan. Tangan Arung bergerak perlahan mengusap dahi dan anak-anak rambutnya. Pada gulir detik yang sama, dia merasa ruangan kamar rumah sakit berangsur menjadi dingin. Hening. Hati Arung mencelos ketika menatap lekat mata karin. Kedua kristal itu berkedip lemah. Kemudian ketika Karin terpejam lebih lama daripada seharusnya, sekujur tubuh Arung melemas. Air mata merebak di kedua pipinya.
Kadang, Arung berharap bisa sekali lagi bertemu Karin entah di tempat bernama apa. Sekadar untuk menggenggam lagi telapak tangannya, atau untuk menatap lekat bola matanya. Kemudian, jika Karin kembali bertanya; Kalau kamu kehilangan aku, rasanya gimana? Arung sudah tahu bagaimana menjawabnya. ***
Jember, Oktober 2012



Read More