05/01/2013 - 06/01/2013 - AngeLinuks

Sedang mencoba terus berbenah. Hope you enjoy it. :)

Latest Update
Fetching data...

Jumat, 10 Mei 2013

Salam; dari Jauh



Ibu, apa kabar? Aku sudah lama tidak mengukur seberapa besar rasa rinduku kepada Bapak, kepada Putra, kepada Ade, kepada kucing yang tidak pernah kuberi makan tapi selalu kuanggap kucingku, dan juga kepadamu. Aku lama sekali tidak telepon. Sekalinya sms pada Bapak, malah minta kiriman KTP. :’D

Apakah kalian sehat?

Aku mengerti bagaimana rasa yang pernah kausebut sebagai; ‘Tidak tahu apa yang sedang ditunggu.’ Kalau kau sudah merasakan itu sejak dulu; sejak apa yang kau percaya akan datang malah menjauh dan pelan-pelan pergi, aku merasakan hal yang sama baru-baru ini. Temanku bilang, apapun yang terjadi, yang paling penting adalah bagaimana agar kita merasa senang. Di sini senang. Di sana senang. Di mana-mana hatiku senang. Kata temanku yang lain, yang paling penting dilakukan adalah mensyukuri apapun yang sudah didapatkan. Kata temanku yang lain lagi, hidup itu harus realistis.

Padahal aku sudah realistis sejak lahir, kan, ya, Bu? :D

Bukankah, sejak kecil, aku sudah menguasai bagaimana cara mengelola berbagai macam keinginan? Bapak melatihku jadi seperti itu sejak dulu.

Ketika teman-temanku punya jas hujan yang mirip kemeja panjang dan ada celananya, Bapak membuatkanku jas jadi-jadian dari plastik transparan. Kata Bapak, itu juga bisa melindungiku dari hujan. Ketika hampir semua temanku berjuang memperebutkan kursi di universitas bagus, bahkan sampai ke luar kota, yang ternama dan terkenal kemana-mana, Bapak bilang aku tidak perlu kuliah. Katanya, anak perempuan di rumah saja. Toh nanti juga jadi istri. Istri tugasnya di rumah. Biar suami saja yang bekerja. Aku bersedih dan jatuh sakit selama tiga hari waktu itu. Lalu, entah bagaimana selanjutnya, Bapak akhirnya mengizinkan aku mendaftar kuliah. Padahal harusnya aku bisa masuk kampus dan jurusan yang lebih bagus kalau keputusan itu sudah dipersiapkan sejak aku masuk SMA, ya, Bu.

Berhubung kita keluarga yang realistis, ya seperti itulah. :’D

Aku bukannya sedang menyalahkan keadaan. Bukannya sedang mengeluh kenapa kita harus selalu realistis dan selamanya realistis. Aku bukannya sedang tidak senang. Aku bukannya sedang menangis dan meringkuk sambil merutuki ini dan itu. Bukan demikian. Aku, anakmu, tidak mungkin selemah itu, kan, Bu... :)

Aku hanya, entah kenapa, merasa begitu lelah. Segala hal jadi rumit ketika aku sedang lelah.

Ibu,

.................. apa hidup memang selalu semelelahkan ini? :’)

Tapi jangan khawatirkan apa-apa. Di luar hal-hal kecil yang sebetulnya tidak penting itu, segalanya berjalan dengan baik. Maksudku, mari kita anggap segalanya memang baik. Kau bisa percaya aku selalu menjaga semua hal yang kaupercayakan padaku, kan, Bu?

Salam untuk Bapak.

I Love You, and Love Daddy too. :)
Read More

Senin, 06 Mei 2013

Segelas Air Putih



Sejak kecil aku sudah suka berkhayal. Aku membayangkan bagaimana jika aku bisa terbang. Juga, bagaimana jika tubuhku bisa menyusut dan masuk ke dalam mobil-mobilan kecil lalu mobil itu bisa kusetir dan aku bisa berkeliling kemanapun yang kuinginkan (ngng, ketika kecil, mainanku bukan boneka, memang, tapi banyak yang mobil-mobilan. -__- Mungkin karena boneka harganya mahal. Kalau mobil ‘kan ada yang dari plastik. :D). Aku pernah membayangkan bahwa jika aku menutup kepalaku dengan ember, lalu membaca mantra-mantra, ketika embernya kulepas aku akan jadi invisible yang tidak terlihat orang-orang.

Kebiasaan mengkhayal itu pasti terbawa sampai sekarang. Kadang, itu membuatku sedih berlebihan. Sedih, karena, tidak semua hal yang kubayangkan bisa kuwujudkan, entah dengan cara mudah atau upaya yang sudah sangat susah payah.

Aku menemukan quote sialan dari cerpen Dee (yang bahkan padahal belum kubaca bukunya). Katanya begini:

"...dan kamu tahu? Aku tidak butuh dia. Yang kubutuhkan adalah orang yang menyayangi aku... dan segelas air putih."

Setelah googling dan menemukan cerpen utuhnya, yang judulnya Curhat untuk Sahabat, aku terenyuh. Dadaku berdesir. Aku ingin menangis, dan aku tahu kenapa ingin menangis. Kenapa Dee harus sering begitu, sih? Maksudku, kenapa Dee selalu membuat tokoh perempuannya menyerah, dan berhenti menyayangi siapapun yang disukainya, lalu Dee membuat si tokoh menyadari bahwa yang harusnya ia lakukan adalah memilih laki-laki lain yang menyanginya saja.

Aku sedih. Hahaha. Aku sedih tapi tak mengapa. Aku tahu apa sebabnya, aku tahu bagaimana mengatasinya. :’)
Read More

Sabtu, 04 Mei 2013

Child





Aku sering melihat bagaimana orang dewasa bersikap seperti anak-anak. Tapi, yang lebih sering kulihat, orang dewasa suka sekali marah-marah pada anak-anak. Menyebalkan, ya, orang dewasa itu? Mereka semaunya. Mentang-mentang sudah tua dan bisa mencari uang sendiri untuk memenuhi kebutuhan perut—yang adalah perutnya sendiri.

Kau tahu, aku mendambakan kehidupan di mana aku bisa mengatur sendiri hidupku. Melakukan ini dan itu seperti apa yang kuinginkan. Menolak ini dan itu seperti apa yang tidak kuinginkan. Mungkin semua orang juga sama. Semua orang punya hak untuk melakukan apapun yang mereka mau tanpa perlu disuruh-suruh, diatur-atur, atau dimarah-marahi oleh siapapun.

Aku menyadari ini ketika semalam aku berada di dapur dengan Gita. Aku termasuk yang jarang (sungkan, red) menyuruh orang lain jika aku bisa melakukannya sendiri. Tapi pada Gita aku tidak sungkan. Dia ‘kan lebih muda. Gampang dimarahi pula. Haha.

Semalam, aku sedang memotong kacang panjang ketika Gita datang dan ikut membantuku memotong-motong kacang panjang. Ketika kemudian kukatakan padanya, “Kamu ngupas bawang putih aja gih, Git.” Gita melirik tak suka lalu memberengut. Itu ekspresinya ketika sedang sebal. Ia memang sering berekspresi seperti itu. Tapi ketika ekspresi itu dikeluarkannya begitu aku memintanya melakukan sesuatu, artinya ia tak suka itu.

Mungkin, di mata Gita, aku sudah termasuk ke dalam jajaran orang dewasa menyebalkan yang suka semaunya.

Ngomong-ngomong, apa sih yang dipikirkan para tukang perintah di dunia ini ketika mereka memerintah orang lain, padahal mereka bisa melakukannya sendiri? Kadang, seseorang lupa sampai di batas mana mereka boleh mengatur, sampai mana mereka hanya boleh melihat, sampai mana mereka hanya boleh mengelus dada ketika orang lain berbuat apapun.

Kehidupan memang adalah perkara pengaturan terhadap diri sendiri, bukan?
Read More