Salam; dari Jauh
Ibu, apa kabar? Aku sudah lama tidak
mengukur seberapa besar rasa rinduku kepada Bapak, kepada Putra, kepada Ade,
kepada kucing yang tidak pernah kuberi makan tapi selalu kuanggap kucingku, dan
juga kepadamu. Aku lama sekali tidak telepon. Sekalinya sms pada Bapak, malah
minta kiriman KTP. :’D
Apakah kalian sehat?
Aku mengerti bagaimana rasa yang
pernah kausebut sebagai; ‘Tidak tahu apa yang sedang ditunggu.’ Kalau
kau sudah merasakan itu sejak dulu; sejak apa yang kau percaya akan datang
malah menjauh dan pelan-pelan pergi, aku merasakan hal yang sama baru-baru ini.
Temanku bilang, apapun yang terjadi, yang paling penting adalah bagaimana agar
kita merasa senang. Di sini senang. Di sana senang. Di mana-mana hatiku senang.
Kata temanku yang lain, yang paling penting dilakukan adalah mensyukuri apapun
yang sudah didapatkan. Kata temanku yang lain lagi, hidup itu harus realistis.
Padahal aku sudah realistis sejak
lahir, kan, ya, Bu? :D
Bukankah, sejak kecil, aku sudah
menguasai bagaimana cara mengelola berbagai macam keinginan? Bapak melatihku
jadi seperti itu sejak dulu.
Ketika teman-temanku punya jas hujan
yang mirip kemeja panjang dan ada celananya, Bapak membuatkanku jas jadi-jadian
dari plastik transparan. Kata Bapak, itu juga bisa melindungiku dari hujan. Ketika
hampir semua temanku berjuang memperebutkan kursi di universitas bagus, bahkan
sampai ke luar kota, yang ternama dan terkenal kemana-mana, Bapak bilang aku
tidak perlu kuliah. Katanya, anak perempuan di rumah saja. Toh nanti juga jadi
istri. Istri tugasnya di rumah. Biar suami saja yang bekerja. Aku bersedih dan jatuh
sakit selama tiga hari waktu itu. Lalu, entah bagaimana selanjutnya, Bapak
akhirnya mengizinkan aku mendaftar kuliah. Padahal harusnya aku bisa masuk
kampus dan jurusan yang lebih bagus kalau keputusan itu sudah dipersiapkan
sejak aku masuk SMA, ya, Bu.
Berhubung kita keluarga yang
realistis, ya seperti itulah. :’D
Aku bukannya sedang menyalahkan
keadaan. Bukannya sedang mengeluh kenapa kita harus selalu realistis dan
selamanya realistis. Aku bukannya sedang tidak senang. Aku bukannya sedang
menangis dan meringkuk sambil merutuki ini dan itu. Bukan demikian. Aku,
anakmu, tidak mungkin selemah itu, kan, Bu... :)
Aku hanya, entah kenapa, merasa
begitu lelah. Segala hal jadi rumit ketika aku sedang lelah.
Ibu,
.................. apa hidup memang
selalu semelelahkan ini? :’)
Tapi jangan khawatirkan apa-apa. Di
luar hal-hal kecil yang sebetulnya tidak penting itu, segalanya berjalan dengan
baik. Maksudku, mari kita anggap segalanya memang baik. Kau bisa percaya aku
selalu menjaga semua hal yang kaupercayakan padaku, kan, Bu?
Salam untuk Bapak.
I Love You, and Love Daddy too. :)