Bangkunya di Belakang [Percikan GADIS] - AngeLinuks

Sedang mencoba terus berbenah. Hope you enjoy it. :)

Latest Update
Fetching data...

Kamis, 18 Oktober 2018

Bangkunya di Belakang [Percikan GADIS]

Percikan terakhir. Yang ini dikembangkan dari tulisan Cokelat ini sebenarnya. Makanya mirip. Kadang kerjaan manusia memang cuma begitu aja; mengorek-ngorek apa yang ada untuk dijadikan uang supaya bisa belanja. #apaanwoy

Nggak sih bercanda. Tulisan itu saya kembangkan karena memang kepikiran ide lain. Dan ini jadi cukup romantis. Jujur aja sayatu jenis manusia yang lebih suka cerita cinta-cintaan ketimbang sejarah atau politik atau persahabatan atau lainnya. Mungkin ini sebabnya kenapa kalo lagi rajin dan ingin maraton baca cerpen koran minggu, kok saya jadi pening dan kayak tanpa sadar jemari ini mencet close tab terus tau-tau kebuka sendiri laman webtoon gitu. Sungguh misterius bukan? #yakali


===================
Bangkunya di Belakang
===================


Image from here
Bangkunya di belakang. Aku selalu tidak tahan untuk tidak menolehkan kepala dan melihatnya. Kalau kebetulan ia mengangkat wajahnya lalu tatap mata kami bertubrukan, jantungku berlompatan. Rasanya sungguh tidak karuan.

“Surat? Itu menggelikan, apa tidak ada cara lain?”

Almira memberi saran supaya aku menaruh diam-diam surat cinta ke dalam ranselnya.

“Di komik kan begitu. Cewek-cewek suka kirim surat cinta sama cowok yang disuka.”

“Kamu mah komik terus.” Aku menarik nafas dalam-dalam.

Ia anti sosial. Ia tidak senang bergaul. Ia tidak pakai smartphone. Bahkan ia hanya pakai ponsel sederhana yang hanya bisa terima sms dan telepon. Aku punya nomornya. Aku sering mengiriminya sms tanpa menyertakan nama tapi ia tidak membalasnya.

Apa aku harus mengikuti saran Almira? Mengiriminya surat cinta?

***

Bangkunya di belakang. Lagi-lagi aku menoleh tanpa sadar. Aku paling suka saat memergoki ia yang sedang tidur. Biasanya, ia meletakkan kepalanya di meja. Aku memang hanya bisa melihat ujung kepalanya, tapi aku tahu kedua matanya terpejam. Aku ingin sekali bertanya kenapa ia sering tertidur. Apakah ia insomnia? Apakah setiap malam ia terjaga? Melakukan apa? Nongkrong? Main bilyard? Bekerja?

Aku benar-benar ingin menuju bangkunya lalu duduk di depannya. Sekadar merecokinya dengan kalimat sok perhatian seperti, “Hei, mukamu pucat. Apa kamu sakit?” Padahal aku tahu benar setiap hari ia selalu berwajah pucat, seperti orang sakit.
Oh. Apakah ia memang sakit?

***

Pada hari ketika aku benar-benar membawa surat cinta untuk diletakkan di lacinya, ia tidak ada. Ia tidak masuk sekolah tanpa pemberitahuan. Alpa.

“Mungkin sakit, Frin?” Aku pura-pura iseng mendekati bangku Afrin, sekretaris kelas, untuk mengintip absensi.

Afrin hanya mengedik. “Tidak ada suratnya kok.”

“Bagaimana kalau dia sakit?” Aku mengomel pada Almira.

“Baru sehari, kan? Kamu khawatir banget, deh.”

“Tapi dia pucat. Bagaimana kalau sakitnya parah? Kalau ternyata dia punya leukimia stadium akhir dan hidupnya tinggal sebentar?”

“Astaga, Karin. Jangan berlebihan.”

Tapi aku tidak bisa tidak berlebihan ketika esoknya ia benar-benar tidak masuk sekolah. Dua hari setelahnya juga tidak. Ada yang mengganjal di perutku. Ada yang nyeri setiap kali aku menolehkan kepalaku ke belakang dan menemukan bangkunya kosong.

Malam hari, sebelum tidur, aku menyempatkan diri mengiriminya sms:

Kamu sakit?

Dan tidak dibalas.

***

Pada hari ketiga, ketika kami sudah memulai pelajaran pertama, seseorang mengetuk pintu. Kemudian ia, seseorang yang wajahnya pucat itu, masuk kelas dengan langkah pendek-pendek. Setelah Bu Yuni mempersilakannya duduk, ia berjalan ke belakang.

Kelas hening. Aku menarik napas dan mengembuskannya pelan-pelan. Ketika langkahnya mendekat ke bangkuku, kuberanikan diri untuk menyapa.

“Hai.”

Ia menghentikan langkahnya, menatapku.

“Kamu sakit? Wajah kamu pucat.”

Sedetik, aku melihat ia mengulas senyum tipis.

“Sudah baikan,” katanya. Lalu ia duduk di bangkunya.

Ada ganjalan yang rasanya anjlok dari tenggorokan, turun ke perutku dan menari-nari di sana. Di waktu yang sama, aku mulai khawatir berlebihan bahwa seisi kelas akan ramai karena aku menyapanya. Atau Bu Yuni akan menggebrak meja. Atau tiba-tiba langit runtuh dan kelasku porak-poranda?

Nyatanya tidak ada apa-apa. Kelas tetap tenang. Aku mengatur napas pelan-pelan. Ketika itulah kemudian kurasakan ponselku bergetar. Sebuah pesan singkat.

Jadi harus menungguku sakit dulu, baru kamu mau bicara? :)

Oh. Astaga. Bangkunya di belakang, semoga ia tak bisa menebak semerah apa mukaku sekarang.[]

Ninuk Anggasari


EmoticonEmoticon