09/01/2018 - 10/01/2018 - AngeLinuks

Sedang mencoba terus berbenah. Hope you enjoy it. :)

Latest Update
Fetching data...

Sabtu, 22 September 2018

Teman [Percikan GADIS]

Ada label fiksi di blog ini, dan hanya berisi tiga buah cerpen. Saya tidak yakin apakah bisa menulis cerpen baru untuk diposting lagi. Lalu saya teringat beberapa naskah cerita mini yang pernah dimuat sebagai Percikan di Majalah GADIS. Sudah lamaaaaaa sekali. Filenya bahkan sudah hilang karena netbook saya rusak dan saya lupa password email yahoo sampai level tidak bisa dipulihkan. Huhu.

Beruntung di website GADIS masih ada. Tidak butuh waktu lama untuk sekadar mengcopy dan memindahkannya ke laptop. Hanya ada empat naskah, Insya Allah secara berkala akan saya posting ke blog ini.

Rajin ya? Demi blog ini ada isinya. Yha.

============

Teman

image from here

Oma bilang, supaya tidak salah pergaulan aku tak boleh sembarangan memilih teman. Mungkin inilah sebabnya kenapa setelah masa SMA-ku berjalan tiga bulan, aku belum juga punya banyak teman. Satu-satunya teman kesayanganku hanya Bulan. Satu-satunya teman cowok pujaanku hanya Awan. Dan satu-satunya teman cewek kebencianku hanya Berlian.

*

“Hai, Sha, kamu dapat salam dari Awan,” pekik Berlian begitu aku hampir sampai di bangkuku.

Aku menyeringai.

Berlian sudah menyampaikan salam itu setiap pagi selama hampir seminggu ini. Meski aku sudah mulai terbiasa, tetap saja ada desir tak terkontrol yang akan dengan mudah mengubah warna pipiku menjadi merah muda.

Aku sudah pernah bilang bahwa aku benci Berlian belum, ya?

Sebenarnya, kalau dia bisa jadi teman pendiam yang tidak macam-macam, seperti Bulan, mungkin aku tak akan menjauhinya. Tapi Berlian sok kecantikan, dan sikap cerianya berlebihan. Yang paling parah, dia senang sekali membongkar rahasia teman.

Sejak lama, aku percaya bahwa teman yang suka membuka rahasia orang lain di depanmu, akan juga membuka rahasiamu di depan orang lain nantinya.

Sialnya, Berlian yang maha supel itu malah mengumbar rahasia bahwa aku naksir Awan, si ketua umum ekskul Pramuka. Setiap hari dia akan menjadikannya bahan lelucon dengan hampir semua teman.

Aku memang tidak serta merta marah padanya. Tapi sejak saat itu aku menjauhinya pelan-pelan.

***

"Bulan, Raishaaa, aku punya pertanyaan penting!”

Aku mendengus, memilih pura-pura sibuk mencatat sambil sesekali bersenda gurau dengan Bulan. Aku tidak tahu berapa level kepekaan Berlian. Setiap hari, dia selalu saja sibuk mendekat padaku dan Bulan, seolah tak peduli betapa kami sudah sangat tak mengacuhkannya.

“Semalam Bulan sama Awan dinner di McD, ya? Kok Raisha nggak ikut? Kok Bulan sama Awan mesra banget? Kok kayak pacaran, gitu?” cerocosnya.

Dahiku berkerut.

“Maksudnya?”

“Apanya yang maksudnya? Apa jangan-jangan sebenarnya kalian pergi bertiga, gitu? Waaah, kemajuan banget Raisha bisa pergi sama Awan.” Ulas senyum sok imut Berlian membuat mataku sakit.

“Lian pasti salah lihat, semalam kami nggak ke mana-mana, kok,” sanggahku, berusaha terdengar selembut mungkin.

Sepanjang sejarah, aku belum pernah keluar dengan Awan. Bahkan bertiga dengan Bulan pun tidak. Berkat Berlian, hampir seluruh kelas memahami benar bahwa pola hubunganku dengan Awan hanya berlangsung satu arah.

Aku suka Awan, tapi tidak sebaliknya.

Jadi mana mungkin kami akan pergi ke McD bersama-sama? Kalau bukan salah lihat, Berlian pasti mengada-ada.

“Berarti Bulan sama Awan pergi berdua?” kali ini Berlian bertanya pada Bulan. Matanya membulat.

“Ak…aku... cuma jalan-jalan biasa kok,” Bulan menjawab. Terbata.

“Sama Awan?” pekikku tiba-tiba.

Ketika Bulan mengangguk ragu, aku merasakan himpitan aneh pada ulu hatiku. Aku bahkan tidak tahu sejak kapan Bulan dan Awan saling dekat. Yang paling membuat nyeri adalah: sejak kapan jalan-jalan dengan Awan menjadi hal biasa untuk seorang Bulan?

“Ih, tapi Awan kan cowok yang ditaksir Raisha! Masa Bulan jalan-jalan berdua gitu. Apa maksudnya, coba?” sergah Berlian.

Entah kenapa aku merasa ingin sekali berterimakasih atas kalimat yang dilontarkannya.

“Nggak gitu,” Bulan gugup. “A…aku cuma diajak Awan, katanya... Awan... aku... Awan bilang dia suka sama aku, makanya dia... cuma jalan-jalan, kok. Kami nggak jadian. Sungguh, Sha. Aku nggak bermaksud....” Struktur kalimat Bulan sungguh berantakan.

Oh.

Aku tertawa hambar.

Kepalaku pusing tiba-tiba.

*
Aku masih ingat petuah oma bahwa aku tak boleh sembarangan memilih teman. Tapi, teman seperti apa yang harusnya tidak boleh dipilih? Yang sangat terbuka tapi suka menyebarkan aib seperti Berlian? Atau yang pendiam dan sangat manis, seperti Bulan? ***

Ninuk Anggasari
Read More