Aku melihat senyum itu di
dalam mimpi. Setiap pagi. Setiap kubuka mata untuk kemudian kupejamkan kembali.
Aku selalu membawa senyum itu ke dalam hati.
“Selamat pagi, Kenichi.”
Kuketikkan pesan itu, lalu kukirimkan pada kontak bernama Kenichi.
Pesan tunda, tentu saja.
Karena nomor atas nama Kenichi itu bukan benar-benar nomor ponselnya. Aku sudah
merubah dua buah angka sehingga jika aku sedang rindu dan tidak bisa menahan
diri untuk mengirimkan pesan yang aneh-aneh padanya, pesan itu tak perlu benar-benar
sampai.
Aku tersenyum. Kupeluk bantal
empuk motif sapiku erat-erat. Mimpiku semalam manis sekali. Sungguh. Kalau saja
Mama mengizinkanku tak masuk sekolah hanya untuk tidur dan memimpikannya
seharian, aku akan melakukannya dengan senang hati. Tidur. Lalu bermimpi
berduaan dengannya jalan-jalan, tak mungkin pernah membuatku bosan.
“Hai, Ken!” teriak seseorang
begitu melihatnya memasuki kelas dengan rambut berdiri yang masih basah.
Aku mengangkat wajahku
sekilas. Lalu kembali menunduk, berpura-pura sibuk dengan buku matematika di
halaman tujuh puluh lima. Jantungku seperti biasa, selalu berlompatan setiap ia
datang, setiap tubuhnya yang tinggi menjulang itu mendudukkan diri di dekatku.
Tepat di sebelah kanan.
“Pinjem tugasmu, Van,” ujarnya
kepada Vania, yang duduk dua bangku lebih jauh di depan kami.
Aku masih menunduk. Entah
kenapa ia tak pernah memintaku meminjaminya tugas. Bahkan pensil, bahkan
penghapus. Ia lebih suka meminjam dari teman lain yang notabene letaknya lebih
jauh daripada aku. Itu membuatku terganggu. Membuatku seperti tak pernah
terlihat, tak pernah pantas, bahkan untuk sekedar dimintainya tolong.
Setidakpenting itukah sosok
Alika ini baginya?
*
“Namaku Kenichi, bisa kalian
panggil Ken saja,” sosoknya, yang sangat oriental dengan kulit kuning langsat
dan poni acak, menarik nyaris seluruh perhatian murid perempuan di kelas kami.
Pagi itu Bu Rerin memintanya memperkenalkan diri, karena ia datang sebagai
murid baru.
“Kalau kupanggil Ichi?” ujar
Vania, diikuti sorakan panjang teman-teman sekelasku (berikutnya akan menjadi
kelasnya juga).
“Tidak, jangan Ichi. Itu ...
terdengar seperti banci.”
Seisi kelas tertawa. Kecuali
aku. Aku yang entah kenapa merasa tak punya keberanian bahkan untuk memandangi
sekedarnya. Ketika untuk tiga atau lima detik aku menengadah, memandang lurus
kepadanya, pada detik itu ia menatapku juga. Aku bukannya mengira-ngira, aku
yakin sekali tatapan tajam itu ia tujukan kepadaku. Kepada gadis berkulit putih
pucat yang wajahnya akan merona semerah tomat setiap kali merasa malu. Sebelum
ia melihat perubahan mukaku, aku segera membuang muka.
“Ken sudah punya pacar belum?”
pekik seseorang dari arah belakang. Dari suaranya yang melengking dan sok
centil, kutebak itu Katherine.
“Sudah,” jawabnya datar.
Seisi kelas riuh dengan desah
kecewa dari beberapa cewek, bercampur olok-olok dari para cowok. Aku tertegun.
Ada yang berkecipak kecil di hatiku. Membuat sebuah perih yang terasa asing.
Barangkali aku kecewa. Segera kusibukkan diri dengan membolak-balik buku paket
matematika yang sejak tadi tergeletak di meja.
*
Aku melihat senyumnya di dalam
mimpi. Setiap pagi, setiap kubuka mata untuk kemudian kupejamkan kembali.
Selalu. Aku ingin membawa senyum itu ke dalam hati.
“Ken pernah tinggal di
Bandung?”
Mimpi ini sudah terjadi lebih
dari tiga kali. Latarnya di dalam kelas. Ketika suasana begitu sepi. Aku dan
Kenichi mengobrol akrab sekali. Seolah hal remeh seperti meminjam pensil dan
penghapus kerapkali terjadi setiap hari. Kenichi menatapku. Bahkan dalam mimpi
pun aku bisa merasakan jantungku berdetak satu-satu.
“Pernah, sejak aku kecil
sampai umurku sebelas tahun,” jawabnya.
Aku mengembuskan nafas lega.
Lalu tersenyum kecil. “Ken nggak ingat Alika?”
Ia mengernyit.
Kemudian terjadilah peluk
pertemuan yang begitu mengharukan. Kenichi mendekapku erat. Tanpa sadar aku
menangis. Terisak di dadanya sambil berkata terbata-bata betapa rindunya aku
padanya. Aku tahu ini hanya di dalam mimpi. Tapi nanti, ketika bangun aku akan
menemukan mataku sembab dan hidungku basah. Aku menangis sungguhan. Juga merasa
pedih dan rindu yang sangat sungguhan.
“Alika jadi pacar Ken saja
ya,” ujar seorang bocah sipit kepada gadis kecil berambut tipis.
Latar mimpiku tiba-tiba
berganti. Kali ini ke sebuah halaman yang penuh rerumputan, lengkap dengan
sebuah ayunan. Itu halaman rumahku. Bocah sipit itu Kenichi, dan tentu saja
gadis kecilnya adalah aku.
Anehnya, sejak kemunculannya
sebagai murid baru di kelas kami, aku sering sekali memimpikan momen di hari
yang begitu hijau itu. Kadang adegannya persis sama dengan yang pernah kami
alami. Kadang lebih indah. Meskipun seringkali juga jadi jauh lebih sedih.
“Pacar?” gadis berambut tipis
itu bertanya.
“Iya. Kalau kita pacaran kan
bisa bareng-bareng terus. Nggak akan pernah pisah sampai nanti kita menikah.
Alika mau, kan, jadi pacar Ken?”
Mata sendu si gadis kecil
berkilat senang samar-samar. Segera ia mengangguk dan tersenyum kecil. “Sampai
nanti kita menikah?”
“Tentu.”
“Janji?” Gadis kecil
mengulurkan kelingking kanannya.
“Janji.”
Mereka berdua tersenyum.
*
“Selamat pagi, Kenichi.”
Kukirimkan pesan itu (lagi)
kepada kontak Kenichi sembari melangkah memasuki gerbang sekolah. Lagi-lagi
laporannya tunda. Aku menarik nafas panjang. Masih ada banyak pesan yang ingin
kuketikkan, tetapi sebuah gesekan pelan membuatku terperangah. Bahunya dan
bahuku, bersentuhan pelan ketika Kenichi berjalan mendahuluiku. Jika aku punya
remote untuk menghentikan waktu dan seluruh gerakan, akan kutekan tombol untuk
menghentikannya. Tetapi nyatanya yang terjadi adalah sebaliknya. Kenichi berjalan.
Terus menjauh sementara aku hanya berdiri kaku. Sibuk mengendalikan desir-desir
aneh yang bermain di dadaku.
*
Tujuh tahun yang lalu.
Hujan sudah reda ketika Mama
mulai menyetir mobil pelan-pelan. Suasana sepi dan barisan panjang akasia
membuatku tahu bahwa kami akan segera sampai di rumah. Kugenggam bungkusan kue
donatku. Canggung.
Pagi tadi kubuat Mama marah
besar hanya gara-gara aku bertanya seperti apa wajah Papa. Aku pernah dengar
istilah anak haram. Ketika kusebut kata itu di depan Mama, dipukulnya
punggungku satu kali. Aku meraung, berusaha memberontak sehingga Mama memukul
punggungku lagi. Aku tidak ingat berapa kali. Tubuh kecilku menggigil,
meringkuk di sudut kamar ketika isak tangis Mama membuatku merasa jauh lebih
nyeri.
Aku tahu Mama sayang padaku.
Tak lama setelah aku menangis, Mama memelukku sangat erat. Diciuminya rambutku
sampai basah oleh airmata. Aku masih menggigil. Sampai kemudian Mama tersenyum
dan mengusap lembut kepalaku sambil bertanya apakah aku mau pergi jalan-jalan
dan mampir ke Dunkin Donuts.
Sekotak kue donat cokelat
masih kugenggam erat ketika mobil kami berhenti di garasi. Begitu Mama
mematikan mesinnya, aku membuka sendiri pintu mobil dan turun dengan tergesa.
“Astaga ....!” Mama berteriak
ketika aku bahkan belum menaiki tangga untuk menuju kamar. “Kakimu kenapa, Nak?
Ayo, ayo, pegang tangan Tante, kita masuk ke dalam, ya ....”
Aku membalik badanku dan
mendekat pelan-pelan. Kulihat Mama kerepotan membopong seorang anak laki-laki
yang kelihatan sangat lemah. Kakinya terkilir. Belakangan diketahui ia terjatuh
dari sepeda ketika sedang melintasi jalan berlubang di depan rumah kami. Tidak
ada yang menemukannya karena memang di blok ini, tak ada rumah lain yang
berpenghuni.
Ia gemetar kedinginan. Hujan
deras membuat seluruh tubuhnya basah kuyup. Bibirnya pucat. Mama menidurkannya
pada sofa empuk, kemudian dengan panik mencarikannya baju ganti dan selimut
hangat. Selanjutnya Mama ke dapur untuk membuat bubur dan segelas susu.
“Iya. Saya Rena. Benar, Pak.
Kakinya terkilir jadi dia tidak bisa pulang. Blok P nomor 45. Itulah, jalan di
sini memang sepi sekali, jadi ....”
Sejak tadi Mama bicara di
telepon dengan banyak orang. Entahlah, aku tak terlalu peduli. Aku lebih
tertarik memperhatikan anak laki-laki bermata sipit yang memakan sereal dan
donat cokelatku dengan lahap. Aku bergeming. Memandanginya dengan tatapan
datar, tidak tahu harus merasa senang atau kasihan. Bahkan ketika ia menatapku
balik dan tersenyum ramah, aku masih saja diam.
“Kenichi,” ujarnya serta-merta
dengan tangan terulur.
Dahiku berkerut. “Apa?”
“Aku Kenichi, namamu?” tatapan
bersahabatnya membuatku menyambut uluran tangannya.
“Alika.”
Dia tersenyum. Aku bahkan
tidak tahu bahwa Kenichi adalah sebuah nama.
Beberapa menit kemudian,
seorang laki-laki yang mata sipitnya mirip Kenichi datang dengan wajah panik.
Dengan sangat haru mereka berpelukan. Itu ayahnya. Mama segera mendekapku
sebelum aku melihat adegan itu berlama-lama.
“Tadi dia makan donatku sampai
habis,” ucapku pada ayah Kenichi ketika mereka berdua pamit pulang.
Ayah Kenichi terbelalak, lalu
tertawa bijak. “Maaf, sayang.. nanti Om bawakan donat ganti untuk Alika yang
lebih banyak ya.”
“Bundaku pintar bikin kue
brownies, pasti juga bisa membuat donat,” kata Kenichi dengan mata berkilat.
“Tapi sekarang bunda sedang sakit, doakan cepat sembuh ya. Supaya nanti ia bisa
membuatkanmu kue donat yang banyaaak!”
Ayahnya tertawa, lalu mengacak
rambutnya.
Sejak itu, sepulang sekolah
Kenichi sering sekali datang ke rumahku dengan sepeda. Kami bermain. Kadang ia
memboncengku mengelilingi kompleks, pernah juga sampai ke jalan raya. Aku dan
ia menjadi sangat dekat. Mama bilang kami seperti saudara. Ketika itu aku sama
sekali tidak tahu tentang apa itu rasa sayang. Yang kutahu hanya, jika aku
menangis, Kenichi selalu ada untuk sekedar mengulurkan donat cokelat atau
tersenyum riang.
Tapi kami terlalu kecil untuk
tahu bahwa kebahagiaan memang jarang sekali bertahan lama. Hanya beberapa
bulan, barangkali setahun kurang sedikit. Aku dan Kenichi sama-sama sebelas
tahun ketika kami berjanji akan jadi pacar sampai menikah. Tapi besoknya,
tiba-tiba ia menghilang. Ia tidak lagi pernah datang. Aku mungkin belum faham
arti sebuah kehilangan, tapi aku tahu bahwa memikirkannya membuat dadaku terasa
sangat sesak. Terlebih ketika kudengar dari Mama bahwa Kenichi dan keluarganya
pergi ke Jepang. Membawa Bunda Kenichi berobat, katanya. Mungkin sebentar,
mungkin lama, namun bisa juga untuk selamanya.
Selama seminggu aku sering
sekali menangis tersedu-sedu. Aku merindukannya sangat banyak. Sebanyak sesak
yang akhir-akhir ini timbul setiap kali aku melihatnya. Tetapi Kenichi tidak
pernah tahu. Ia bahkan tidak ingat bahwa kami pernah punya masa lalu. Bukankah
bahkan ia tidak lagi mengenaliku?
*
Sore sedang hujan ketika aku
duduk di Dunkin Donuts dan menatap ke luar. Melawan dingin yang entah
berasal dari pendingin ruangan, atau justru dari rintik hujan yang keputihan.
Sudah lama sekali sejak terakhir kali Mama marah dan membentakku. Tadi pagi,
tiba-tiba ia melakukannya lagi. Aku menggigil ketika tangan Mama bergerak
membuang semua foto-foto Kenichi yang ditemukannya di laci rahasiaku. Tangisku
pecah. Tapi aku tidak melakukan apa-apa. Aku bahkan tidak bertanya kenapa Mama
melakukannya. Sampai Mama menjelaskan padaku semuanya.
“Maaf terlambat,” sebuah suara
membuatku tercekat.
Bahkan meski kami sudah
janjian, aku tidak yakin ia akan benar-benar datang. Rambut dan bahunya agak
basah. Aku menelan kunyahan donatku, belum berani memintanya duduk.
Ia duduk tanpa kuminta. Lalu
memberiku tatapan asing yang setiap hari ia perlihatkan seperti biasa. Kutatap ia
lama-lama. Dingin menyelimuti kami. Bukan hujan, bukan pula pendingin ruangan.
Itu berasal dari kami. Dari hati masing-masing kami.
“Aku minta maaf,” ujarku. “Maksudku
... minta maaf atas nama Mama ....”
Kenichi membuang muka. Sejenak
kukira akan tertawa. Nyatanya tidak. “Sudah terjadi, lupakan saja.”
Ya. Aku baru tahu bahwa
kepergian Kenichi dan keluarganya enam tahun yang lalu adalah gara-gara Mama.
Aku baru tahu bahwa semakin parahnya sakit yang diderita Bunda Kenichi, adalah
karena mengetahui bahwa suaminya menjalin hubungan rahasia dengan Mama. Aku
baru tahu, sungguh. Bahkan meski aku sering sekali bertanya pada Mama di mana
papaku berada, aku tidak pernah benar-benar menuntutnya untuk memberiku papa
sungguhan. Aku benar-benar tidak tahu apa-apa.
Aku tertawa datar. “Ayah dan
bundamu apa kabar?”
“Baik,” ia tersenyum. “Meski
Bunda harus duduk di kursi roda, tapi ... setidaknya ia bisa bicara, bisa
tertawa, pernah juga membuatkanku brownies dan—kue donat.” Kilat mata Kenichi
kulihat lagi ketika ia kemudian tertawa.
“Baguslah.” Kuusap ujung
airmataku cepat-cepat. Lalu aku mencoba tertawa. “Sudah lama sekali ya. Kukira
kita ... kukira kita hanya akan terpisah sementara.”
Kenichi menunduk, pelan-pelan
mengusap pelipisnya yang basah dengan jarinya. “Aku juga berpikiran sama,”
untuk pertama kalinya ia menatapku benar-benar. “Tapi nyatanya tidak bisa.
Ayahku tahu aku menyimpan foto masa kecil kita, dan ....”
“Ya ya, aku mengerti. Tidak
apa.” Segera kupotong ucapannya. “Setidaknya sekarang aku bisa melihatmu lagi,
ya.” Aku menatapnya. Lalu tersenyum. Lama. Sekuat tenaga kutahan tangis yang
hendak pecah saat ini juga.
*
“Selamat pagi, Kenichi.”
Sebuah pesan kukirimkan kepada
kontak bernama Kenichi. Pesanku terkirim, itu nomornya yang benar.
Kuseka airmata yang merembes
ke pipiku. Sudah dua minggu ia tidak pernah terlihat lagi di sisi kanan tempat
dudukku. Teman-teman bilang ia pindah. Semoga kali ini tidak ada hubungannya
dengan Mama, atau dengan pernyataan cinta yang dua minggu lalu kuungkapkan
kepadanya.[]
Jember, April 2012
Cerpen Ninuk Anggasari
mampir~
BalasHapuscerpennya masuk majalah kah?