Kamu pernah lihat ibu-ibu cantik jelita? Aku pernah, tapi jarang.
Kebanyakan ibu-ibu yang kukenal, yang pernah mengajakku mengobrol atau kuajak
mengobrol, adalah ibu-ibu yang wajahnya punya banyak kerutan, yang tertawanya
nyaring, yang suka bergosip, yang suka mengomel, dan gendut. Beberapa yang lain
memang ada yang tetap langsing dan mulus dan imut-imut. Tapi kelak aku akan
masuk ke bagian yang pertama, kukira. Kamu pasti juga sudah mengiranya. –,–
Kamu tahu, L, penyebab sebagian suami berselingkuh barangkali adalah
karena istri mereka sudah membosankan, atau tidak menarik lagi. Aku pernah bertanya-tanya kenapa orang menikah yang sudah tidak saling
cinta tidak bercerai saja. Kenapa mereka tetap memaksa mengikat satu sama lain
dengan alasan klise seperti; ‘kasihan anak-anak’, atau ‘apa kata orang’, atau
hal-hal sepele lainnya. Bukankah ‘karena aku tidak cinta lagi’ saja sudah cukup
untuk jadi alasan berpisah? Seperti di cerpennya Dee yang judulnya Peluk. Kamu
tentu sudah baca. Cerita tentang dua orang yang sudah enam tahun saling
mencintai, lalu si perempuan tiba-tiba ingin pergi hanya karena ia merasa;
Aku tidak ingin bersamamu cuma karena enggan sendiri. Kau tidak layak untuk itu. Seseorang semestinya memutuskan bersama orang lain karena menemukan keutuhannya tercermin, bukan ketakutannya akan sepi.
Puwah. Super, bukan?
Itu menunjukkan betapa manusiawinya manusia. Betapa cinta dan hati dan
sayang dan segala yang pernah diagung-agungkan di awal ternyata selalu bisa
berubah dan menjadi sepah. Bukan salah si tokoh ‘aku’ jika kemudian ia ingin
melepaskan diri. Bukan salahnya juga jika ia kemudian merasa bahwa hati rupanya
adalah air yang mengalir. Katanya;
... jika peristiwa jatuh hati diumpamakan air terjun, maka bersamamu aku sudah merasakan terjun, jumpalitan, lompat indah. Berkali-kali. Namun kanal hidup membawa aliran itu ke sebuah tempat datar, dan hatiku berhenti mengalir.
Dan ia memang egois dan menyebalkan ketika berpikir;
Aku ingin mengalir. Hatiku belum mau mati.
Kemudian ia benar-benar pergi dan tak kembali.
Sampai di sini aku masih berpikir bahwa manusia memang mudah berubah.
Hati juga. Cinta juga. Sayang juga. Segala sesuatu di muka bumi mudah berubah.
Sama mudahnya dengan fisik atau ingatan atau kebiasaan atau yang lain-lainnya.
Jika kamu merasa wajar saja jika seseorang pergi ketika pasangannya mendadak
lupa ingatan, aku juga berpikir itu wajar. Semua kedatangan punya alasan;
kepergian juga demikian. Tapi ada satu hal yang baru kupikirkan ulang. Bahwa
alasan-alasan remeh itu terlalu brengsek untuk digunakan ketika seseorang ingin
pergi dari pernikahan.
Orang pacaran bisa putus. Yang berteman bisa musuhan. Tapi menikah
adalah perkara ‘menjadi keluarga’; hidup bersama, menangis, bercanda, memasak,
mengobrol, memandang, mengejar, marah, belanja, tidur, bangun pagi, berteriak,
menjaga, memberontak, menghujat, melakukan apapun. Dan seharusnya selalu begitu
sampai pasangan itu tua—dan mati.
Kata Clara Ng; Keluarga adalah nomor satu. Bulat sempurna seperti bulan purnama.
Tapi seperti yang selalu kubilang; manusia mudah berubah. Perempuan
bisa berubah jadi menyebalkan, dan keriput, dan berlemak (banyak), dan menopause,
dan manja, dan sakit-sakitan, dan pikun, dan banyak lagi. Laki-laki juga
demikian. Bedanya mereka tidak menopause. Bahkan sebetulnya,
perselingkuhan juga adalah salah satu bentuk perubahan; dari setia menjadi
tidak setia.
Jadi, L, aku punya teori spektakuler! \m/
Bahwa ‘menikah’ adalah bertekad sekuat tenaga untuk terus bersama menghadapi
perubahan.
Ngg, tapi rupanya juga ada istilah ‘cerai’ di dunia ini, L. Sedih
sekali kedengarannya memang. Tapi toh ada. Nyatanya, ada perubahan tertentu
(barangkali terlalu berat dan menyakitkan) yang tidak sanggup dihadapi pasangan
yang menikah. Makanya mereka bercerai. Jadi kalau berubah yang wajar-wajar saja
ya, harusnya. xD
Jadi,
begitulah.
PS :
Aku sempat kepikiran menghapus blog ini. Kalau benar terjadi, apakah
menurutmu Appa akan tetap tidak punya cakar? #apane
Saya tidak bisa berkata2 lagii
BalasHapus