Cokelat
Bangkunya di belakang. Aku selalu tidak tahan untuk
tidak menolehkan kepala dan melihatnya. Kalau kebetulan dia mengangkat wajahnya
lalu tatap mata kami bertubrukan, jantungku berlompatan. Rasanya sungguh tidak
karuan.
“Cokelat? Itu menggelikan, apa tidak ada cara lain?”
Cantika memberi saran supaya aku menaruh diam-diam cokelat
beserta surat cinta ke dalam ranselnya.
“Di komik kan begitu. Kalau valentine, cowok-cowok dapat
cokelat dan surat cinta.”
“Kamu mah komik terus.” Aku menarik nafas dalam-dalam.
*
Bangkunya di belakang. Aku menoleh tanpa sadar. Bodoh.
Tadi pagi aku meletakkan cokelat (plus surat cinta) di ranselnya. Harusnya aku
tak boleh sesering ini menolehkan kepala. Bagaimana kalau dia sudah baca?
Bagaimana kalau dia membuang cokelatnya? Bagai—
“Taruh semua tas di atas meja!”
Aku tersentak. Suara menggelegar itu milik Pak
Yunus, guru BP yang galaknya luar biasa. Aku hanya bisa mematung ketika melihat
bagaimana Pak Yunus merazia beraneka cokelat dari tas semua siswa.
“Masih kecil main cinta-cintaan, mau jadi apa?!”
Bangkunya di belakang. Aku memberanikan diri untuk
sekali lagi menolehkan kepala. Tas ranselnya di atas meja. Sementara ia
terlihat tenang-tenang saja. Ketika kemudian ia balas menatapku dan mata kami
bertubrukan, ia menunjuk sesuatu yang menyembul dari saku seragamnya.
Cokelat.
Ia tersenyum. Lalu kami sama-sama membuang muka.[]
Bengkulu, Februari 2013
Ninuk Anggasari