Secara tiba-tiba, aku kepikiran pepatah Habis Manis Sepah Dibuang,
lalu terus-menerus kepikiran. Awalnya aku menganggap pepatah ini keren.
Maksudku, ini menggambarkan dengan sangat sempurna tentang betapa
kurang-ajarnya seseorang yang hanya mau menikmati manisnya, lalu membuang
setelah sepah. Tapi, setelah kupikir ulang, memang seharusnya begitu, bukan?
Aku membuang tebu yang sudah kukunyah dan kucecap manisnya. Aku
membuang permen karet yang manisnya sudah hilang, ketika aku sudah lelah
meniup-niup dan membuat balon-balonan. Aku membuang apapun yang tidak berguna,
yang tidak kupakai dan yang tidak kusuka. Cuma orang bodoh yang tetap bertahan
dengan rasa sepah, kupikir. Iya, kan? :3
Hanya saja, apa pepatah ini juga berlaku untuk sebuah hubungan? Mungkin,
kebanyakan pasangan memang menganggap kegiatan ‘berpacaran’ sebagai sesuatu
yang punya kadar manis terbatas dan suatu saat nanti bisa sepah. Lalu ketika
satu sama lain ingin bilang ‘sudah’, ya sudah. Mereka pergi dan mencari yang
manis-manis dengan orang lain.
Tapi, bukankah cinta harusnya tidak pernah sepah? :)
Aku bingung. :D
Barangkali aku terlalu tolol untuk memahami soal kadar manis dan
sepahnya cinta. Aku tidak tahu kenapa orang-orang bercerai, atau putus, dan
kenapa orang-orang tetap setia. Cinta bukan permen karet. Aku tidak berpikir
bahwa orang yang putus adalah yang kehilangan rasa manis. Karena, aku juga tidak
ingin berpikir bahwa orang yang tetap setia adalah yang sebenarnya hubungannya
sudah sepah tapi ia tetap bertahan karena memang begitulah ia seharusnya. Cinta
tidak begitu. Aku selalu percaya bahwa cinta tidak sepamrih itu.
Jadi, semoga saja memang begitu. :)
apel tidak sepah.
BalasHapussesepah-sepah yang terpelan mungkin.
Sebab apel itu cinta. #apane
BalasHapusAku asal saja pasang gambar apel, Om Anon :*
sekarang kamu malas nulis ya?
BalasHapus