Aku mengobrol absurd dengan
seseorang tadi pagi. Ia duduk di dekatku, satu bangku di sebelah kiri. Kami
sedang antri di depan loket teller BRI. Aku jarang menyapa orang asing. Tapi
bapak itu, yang berkacamata, berkumis, dan punya rambut sepanjang Harry Potter
ketika kelas satu itu, tiba-tiba bilang;
“Berat...”
“Kenapa, Pak?” tanyaku.
“Berat, hidup.”
Lalu kami sama-sama tertawa kecil.
“Mau nabung ya, Pak?”
“Iya, nih. Begini terus. Nabung,
diambil, nabung diambil. Sampe udah ganti buku.”
Aku berhehe-hihi saja. Berusaha
terlihat sopan karena ia bapak-bapak.
“Gimana lagi ya, dijalani aja,
namanya hidup.”
Aku tersenyum, mengatakan ‘iya’
samar, dan hanya mengangguk-angguk. Tadi sudah kubilang aku jarang bicara
dengan orang asing, bukan? Jadi aku tidak bicara apa-apa lagi sampai nomor
antrianku dipanggil. Setelah menabungkan beberapa rupiah, ke rekening yang
bukan milikku, aku pamit pada si bapak, kemudian pergi.
Di luar, mas tukang parkir sedang
berdiri. Aku segera memberinya seribu. Sebetulnya, aku tidak merasa perlu
dibantu menarik motor dari belakang. Tapi mas tukang parkir menarik besi
belakang motorku sementara aku sudah naik. Itu memang selalu dilakukannya
karena itu sudah tugasnya. Mungkin, sesekali ia juga akan mengeluh bahwa
hidupnya berat.
Memang ada banyak orang yang harus
membuang risaunya dengan mengeluh. Aku juga, meskipun sering berusaha supaya
tidak mengeluh toh juga akan tetap sering mengeluh.
Haha. :’)
Ngomong-ngomong, hampir ramadhan.
Bapak dan Ibuk apa kabar, ya?
*Judul diambil dari lirik lagu Donna-Donna
aku sering mengeluh. masih :'D
BalasHapus