Aku pernah PKL di tempat yang—kalau dilihat
dari jumlah orang yang bercita-cita ingin kerja di sana, sepertinya itu adalah
tempat yang bagus. Gajinya tetap; kurang lebih dua juta setiap bulannya. Lalu,
mereka memakai seragam rapi hingga senantiasa terlihat cantik dan tampan. Yang
perempuan memakai rok span di atas lutut, rambut bercepol, bermake-up tebal dan
memakai shadow-shadow-yang-maha-keren di kelopak matanya. Yang laki-laki
berkemeja dan berdasi. Rambutnya basah. Tampan terus, terus tampan, sepanjang
masa.
Kebetulan, salah seorang pegawai
baru (yang outsourcing dan masih training) adalah kakak tingkatku di kampus.
Satu jurusan tapi lain program studi. Orangnya cantiiiiik sekali. Mungil dan
menggemaskan. Pertama kali mengobrol, ia menyenangkan. Gaya nyinyirnya juga,
kupikir, tidak begitu menyebalkan. Kalimat yang kuingat terus sampai hari ini
darinya, adalah seperti ini:
“Aku nggak suka sama Pak ****** itu.
Musuh banget. Kalo aku sekarang main ke kampus terus ketemu Pak itu, pengen aku
bilang; ‘Lihat nih, Pak, sekarang saya udah sukses!’ Gitu.”
Beberapa hari kemudian aku mulai
sebal pada Mbak Cantik untuk banyak hal. Kata temanku, dia sok sekali. Aku
tidak tahu banyak, tapi yang membuatku tidak suka, adalah karena setiap selesai
makan siang, dia jadi satu-satunya orang yang tidak meletakkan piringnya
sendiri ke wastafel. Dia juga senang memerintah. Aku sempat dengar ia dimarahi
Ibu Pimpinan padahal Ibu itu baik sekali dan nyaris tidak pernah marah.
Beberapa hari setelah kedatangannya,
Si Mbak Cantik dipindahkan ke luar kota. Hahahaha.
#dankenapatertawa =))
Aku bukan ingin bilang betapa
menyebalkannya mbak itu, sebetulnya. Aku cuma ingin membahas kalimatnya soal ‘sekarang
saya udah sukses!’. Kalau teringat lagi, aku suka merenung dan memikirkan
kalimat itu lagi dan lagi. Mbak itu mengukur suksesnya dengan parameter apa?
Bahwa ia sudah bekerja di tempat yang bergengsi, biarpun outsourcing? Bahwa ia
sudah bisa makan dan tidak menaruh piringnya di wastafel? Bahwa ia bisa
memerintah siapa saja sesuka hatinya?
Waktu PKL di tempat itu, aku masuk
jam 8 pagi dan pulang jam 4 sore. Aku tidak melakukan apa-apa tapi aku sering
lelah karena yang kulakukan bukan hal yang menyenangkan. Aku sering terlambat
masuk sekitar satu s/d dua puluh menit setiap harinya (#plak). Aku jarang melakukan
apapun kecuali mengurusi berkas-berkas. Tapi, di siang hari aku sudah akan
lapaaaaaar sekali. Dan pada jam sore aku akan sangat gembira menanti-nanti
waktu pulang. Begitu setiap hari. Tidak capek-capek banget, bukan? Nyatanya aku
capek.
Kabar wownya, yang kulakukan sama
sekali tidak ada apa-apanya dibanding dengan yang dilakukan karyawan-karyawan
aslinya. Mereka, yang bergaji rata-rata dua-tiga juta rupiah itu, sudah harus selalu standby di kantor pada pukul 7 pagi. Jam
pulang mereka harusnya pukul 16.00, kalau tidak salah. Tapi setiap hari mereka
lembur dan hampir selalu pulang pukul 8 malam. Kadang, beberapa karyawan
teladan dengan sangat berbesar hati membawa pulang berkas-berkas yang tidak selesai, untuk dikerjakan di rumah. Coba bayangkan betapa mereka akan sangat teramat
merasa lelah.
“Rasanya, kayak tidur sebentar tiba-tiba pagi lagi. Kerja lagi..” Begitu kata seorang Mas karyawan yang
masih muda. Ia baru punya satu anak dan masih batita. :”)
Jadi, Mas itu hanya bertemu anaknya
di malam hari. Iya kalau si anak belum tidur, kan. Juga, iya kalau si Mas itu
belum capek dan tidak keburu tepar. Oh, ya, tambahan wow lagi, kalau Sabtu,
kadang para karyawan harus masuk untuk lembur.
Aku tidak berani bertanya berapa uang
lembur mereka. Mungkin banyak sekali, ya. .___.
Jadi ...
................................sudah sore, aku pulang dulu, ya. =="
EmoticonEmoticon