Cerpen Ninuk Anggasari
Aku cuma tidak punya cara lain untuk
mengawetkan kamu dalam kenangan. Maka hari ini, kubilang padamu kita tak bisa
pulang bersama padahal aku menguntitmu diam-diam. Nekat dan konyol, aku mencoba
merekam. Membuat film dokumenter tentang kamu, Arung Rahmawan. Sepertinya ini
akan jadi satu-satunya kegiatan paling berkesan. Iya, kan?
“Arung!” Seseorang memanggilmu. Itu
Gis. Temanmu di ekskul pecinta alam. “Mau pulang, ya? Kamu sendirian? Mana
Karin?”
Aku mengarahkan handycam dari
celah batang sebuah pohon yang tak terlalu jauh. Tidak bisa merekam wajahmu
karena kamu berdiri membelakangiku.
“Iya nih sendirian. Ada apa, Gis?”
ujarmu ramah, seperti biasa.
“Sebentar, ya.” Gis memencet-mencet
ponsel dan bicara singkat dengan seseorang. Singkat sekali. Kemudian dia
menutup ponsel dan kembali bicara denganmu. “Kamu ingat nggak, aku pernah
bilang ada anak baru yang ingin kenalan sama kamu? Dia satu kosan denganku. Tungguin
sebentar, pliiis, dia sedang kemari. Mumpung lagi nggak ada Karin. Hihi.”
Wow! Aku bisa mendengar hantaman keras
pada sisi kiri hati kecilku. Handycamku tetap menyorotmu ketika kemudian
aku melihat kedatangan gadis itu. Postur semampai dengan lekuk-lekuk memukau.
Poninya miring, dan ketika bibirnya tersungging ada lesung di kedua pipinya.
Manis sekali. Dia datang dari arah kiri, memasuki sorotan kamera ketika
bergabung dengan kamu dan Gis. Lalu dengan malu-malu, dia mengulurkan tangan
kanan. Menjabatmu.
“Kikan,” ujarnya pelan. Pelan sekali.
Jika saja aku berdiri di balik satu pohon lebih jauh, suaranya pasti tak
terdengar.
Kulihat tanganmu bergerak
menyambutnya, menggenggam tangannya, barangkali dengan senyum ramah yang
hangatnya luar biasa. Kutebak dada gadis itu berdesir lembut ketika kedua
telapak tangan kalian bersentuhan. Pipinya yang mulus itu pasti sedang memanas.
Terbukti, karena setelah jabat manis itu, kulihat dia tertunduk malu.
“Kok berani minta kenalan? Jarang lho
ada cewek yang kayak kamu,” ujarmu, serius tapi bersahabat.
Dia cuma tersenyum, tersipu.
“Eh, nggak tukeran nomer hape, nih?”
Gis menjadi penengah.
“Oh iya, mau kamu catat?” Kamu bicara
penuh percaya diri. “Kosong delapan lima,”
Kikan, setelah menggaruk kikuk
dahinya, terburu-buru mengeluarkan ponsel untuk mencatat nomor yang kamu
diktekan. Lihat gadis itu. Polos sekali, ya? Kalau aku jadi kamu, aku akan
langsung menjadikannya nominasi cewek terbaik untuk menjadi teman kencan di
malam Minggu. Dan sepertinya aku jadi tahu kenapa selama ini kamu tak pernah
menyukaiku.
“Oke, salam kenal, Kikan. Maaf ya, aku
pergi dulu. Lagi agak repot, nih.”
Aku tidak benar-benar melihat, tapi
kamu mungkin tersenyum sekilas. Lalu setelah berpamitan, kamu hadap kanan dan
berjalan pelan.
Kuarahkan kamera pada Kikan dan Gis.
Gis meloncat-loncat norak sambil mengguncang-guncang bahu Kikan. Sementara Kikan
tetap tertunduk. Kuperbesar tampilan gambar pada handycam supaya
terfokus pada ekspresinya. Merona? Oh tidak, gadis ini benar-benar jatuh cinta.
*
Film dokumenter spektakuler hasil
rekamanku sudah jadi. Ternyata isinya tidak hanya tentang kamu. Aku mencampurnya
dengan beberapa video Kikan, juga rekaman isi hatiku sendiri. Selama tiga
minggu hampir penuh aku mengedit dan memberi berbagai efek supaya film buatanku
jadi seperti sungguhan.
Pagi ini, seperti tujuh hari yang
telah berlalu sebelumnya, tidak ada yang tahu aku di sini. Bosan dan tidak ada
kerjaan, kunyalakan laptop jingga milikku. Lalu aku menonton film itu lagi.
“Halo, namaku Arung Rahmawan. Laki-laki
ganteng, pecinta alam,” ujar
gambarmu di layar laptop.
Aku tersenyum dengan kepala miring. Aku
paling suka adegan ini. Satu-satunya adegan yang kuambil secara
terang-terangan. Ketika itu kupaksa kamu memberikan salam perkenalan ala
peserta-peserta fake reality show.
“Terus?” Suaraku terdengar.
“Terus apa?”
“Lanjutin ngomongnya!”
“Aku—“ kamu menatap kamera, lama. “Ah, ngomong apa
lagi dong?”
“Ahahahah, tampang kamu, ya ampun.”
“Udah Ring, matiin! Matiin!”
“Tanggung, lagi bagus nih.”
“Ring?! Matiin kubilang! Ring!”
Gambar bergerak-gerak. Terdengar
langkah kakiku yang berlarian sambil terkikik. Layar berguncang-guncang tidak
stabil. Ketika itu kamu mengejarku keliling kelas. Setengah marah dan memohon
supaya rekaman bodohmu dihapus. Masih terbahak, aku terus saja berlari.
Menyelamatkan diri dan menyelamatkan gambar ini.
“HAHAHA.” Suara tawaku yang terakhir.
Kemudian adegan berganti.
Aku masih tersenyum sendiri ketika
tiba-tiba ponselku berdering. Mataku membelalak. Sedikit, ah tidak, aku sangat
terkejut membaca namamu.
Arungnya
Aring—calling?
“Ha—”
“Halo! Kenapa dari kemarin hape kamu
nggak aktif?”
Aku tercekat. Sebetulnya ponselku
sudah tidak aktif sejak seminggu yang lalu. Tapi aku sama sekali tidak berharap
kamu akan mencariku. Bukankah sejak dulu memang seperti itu aku di matamu?
Tidak penting, bukan?
“Kamu di mana, Ring?! Menghilang ke
Jogja lagi? Dasar anak nakal! Kamu belum ajarin aku mengedit foto, kan? Padahal
lagi butuh banget ini!” Kamu bicara panjang lebar.
Aku tergelak, berusaha kuat menahan
supaya mataku yang berkaca-kaca tidak menjatuhkan air mata. “Kamu mencariku
cuma untuk ngajarin edit foto?”
“Apa?”
“Oh, nggak papa. Hahaha.” Air mataku
menetes sungguhan tapi kamu tidak boleh tahu. “Aku lagi di Jepang. Jangan
ganggu, ya. Lagi jalan-jalan di Menara Eiffel, nih.”
“Nah, kan. Eiffel sejak kapan pindah
ke Jepang? Kumat nih anak.”
Klik.
Aku menangis. Kupandangi lagi layar
laptop yang memburam akibat penglihatanku terhalang air mata. Meskipun samar,
aku hafal bahwa film sedang menampilkan adegan ketika kamu dan Kikan sedang
makan siang berdua. Hatiku perih.
*
Kamu lebih suka memanggilku Aring, padahal
nama asliku Karin. Tapi tak apa, aku suka dipanggil apa saja. Karena yang
paling penting adalah fakta bahwa aku ada, biarpun sedikit, di duniamu.
“Karin, makan buburnya dulu yuk, Sayang.”
Ini sudah kali ketiga dalam sehari mama menyodoriku makanan.
Aku tidak mau makan. Bukannya manja,
tapi tidak selera. Menu makanan yang disuguhkan tempat ini tidak enak. Hanya
bubur tawar, dan sesekali telur rebus. Aku lebih suka disuntik dengan jarum
tajam ketimbang harus susah payah menelan makanan. Terlebih lagi aku bosan.
Jenuh. Tempat berbau obat-obatan ini tidak pernah membuatku betah.
“Kamu kangen sekolah, ya?” Mama
mengelus rambutku dengan tatapan sendu. “Semalam Arung ke rumah, dia tanya kamu
di mana, pasti dia juga kangen kamu.”
“Sama Kikan ya, Ma?”
“Siapa Kikan?”
“Ah, itu, ceweknya Arung.”
“Arung punya pacar sekarang? Wah,
kemajuan, ya. Bukannya kamu bilang dia cuek sama perempuan?”
“Hehe, nggak segitunya lah, Ma. Karin
rasa setiap cowok juga butuh pacar.”
Mama terkikik. “Mama baru tahu kalau
pacar itu kebutuhan.”
Aku tercenung. Teringat bahwa selama
ini aku tidak pernah butuh pacar. Karena menyukaimu, mendoakanmu, mengingatmu
sepanjang waktu, adalah jauh lebih indah daripada punya pacar. Apalagi, kamu
juga tidak pernah punya pacar.
Tentu saja Kikan adalah pengecualian.
Kikan adalah satu-satunya gadis
pemberani yang mau berbesar hati mendekati kamu lebih dulu. Aku punya beberapa
rekaman kisah kasih kalian. Sejak perkenalan, pendekatan, sampai suatu pagi
yang basah itu. Ketika aku melihat Kikan menggelayut di bahumu pada gerimis
yang begitu semu. Esoknya, kudengar kamu dan Kikan jadian.
“Kok melamun?” Mama mengelus rambutku
lagi.
Lama. Dipandanginya aku dengan penuh
perhatian. Aku tahu apa yang mama pikirkan, tetapi aku berusaha memberinya
senyuman. Kemudian mama merengkuhku. Mendekapku erat sekali. Kudengar isakan
tertahan saat beliau berbisik.
“Karin anak Mama satu-satunya ....”
Hangat, aku membalas pelukan mama.
Tapi aku tidak menangis. Bahkan ketika tahu-tahu aku merasakan dadaku luar
biasa sakit. Aku mempererat pelukanku kepada mama. Kurasakan hidungku
menghangat oleh darah segar.
“Karin sayang Mama ....”
Kemudian pandanganku mengabur.
*
Rumah Sakit!
Halo, namaku Arung Rahmawan.
Laki-laki ganteng, Pecinta Alam.
Arung berlari, terburu-buru menapaki
lorong rumah sakit. Penampilannya acak-acakan dengan peluh yang membasahi
pelipis dan sebagian rambutnya. Mama Karin meneleponnya, memberitahu bahwa
Karin sedang kritis dan mengalami koma.
Dasar bebal!
Arung mengutuk Karin yang sejak awal
tidak pernah bilang bahwa dia sedang sakit. Selama seminggu ini Arung bahkan
berfikir gadis itu sedang bersenang-senang entah di kota mana. Seperti yang
biasa Karin lakukan setiap kali menghilang. Pergi belanja, ke pantai, ke hutan.
Ke tempat jauh yang tidak pernah bisa Arung temukan!
“Rung, kalo kamu kehilangan aku,
rasanya gimana?” Karin pernah bertanya.
Waktu itu Karin sedang membantu Arung
mencari kunci motornya yang terselip entah dimana. Arung memang mudah sekali
lupa, mudah kehilangan barang apapun yang dia punya.
“Ha? Yaaa, ngng ... biasa aja.” Arung
mengamati tanah berumput, barangkali kunci motornya terjatuh disana.
“Oh, ya? Kalo aku mati muda terus jadi
hantu penasaran?”
“Orang seusil kamu nggak mungkin mati
muda, dan kalaupun jadi hantu juga nggak akan penasaran.”
“Kenapa nggak mungkin mati muda?”
“Karena orang yang mati muda itu cuma
orang baik.”
“Oh, ya?”
“Oh, ya! Ketemu!” Dia mengacungkan
kunci motor yang terselip di sela-sela rerumputan hijau. Pasti tidak sengaja
terjatuh ketika tadi dia terburu-buru memasukkannya ke dalam tas.
Arung tiba di ruang ICU. Jantungnya
berdegup ketika menemukan sosok sahabat baiknya terbaring lemah dengan slang
infus dimana-mana. Perlahan, digenggamnya pergelangan tangan Karin yang tidak
disemati slang.
“Halo, Ring,” panggilnya lirih. “Masih
tidur, ya?”
*
Barangkali Arung selalu ngotot
memanggil gadis itu Aring supaya nama keduanya terdengar serasi. Suatu hari,
Arung pernah tanpa sengaja mengukir kata Ar(u/i)ng di sebuah kertas. Ketika Karin
melihatnya, gadis itu terperangah sekaligus terlihat begitu senang dalam waktu
yang sama.
“Ih, romantis banget ya gabungan nama
kita,” desaunya.
Waktu itu Arung hanya tertawa. Sama
sekali tak menyangka bahwa berbulan-bulan setelah kejadian itu, dia akan
melihat kertas bertuliskan Ar(u/i)ng itu tertempel di sebuah benda yang diserahkan
Kikan kepadanya.
“Aku nemu ini, di meja kecil dekat
ranjangnya Karin waktu tadi mau naruh buah,” kata Kikan. “Punya kamu atau punya
Aring, ya?”
Arung mengernyit memandangi benda itu.
Sebuah kotak berisi sekeping CD.
“Punya Aring. Tapi aku ingin lihat apa
isinya.”
*
Sore sedang mendung ketika Arung datang
dan membawakan Aring bunga. Dia berlutut, dan tersenyum manis dengan mata berkilat
yang berusaha ceria.
“Mendungnya tebal sekali, Ring.
Sepertinya bakal hujan.” Arung menengadah.
Langit mungkin sedang sendu, atau
sedang tak kuasa membendung rindu. Dan meski sudah berusaha keras, Arung tak
bisa menahan diri untuk tak merasa pilu. Ketika perlahan-lahan rintik hujan
turun dan membasahi pakaiannya, kedua bola mata Arung berkaca-kaca. Air hangat
yang lain meleleh di pipinya.
Hujan membuat bunga-bunga yang tadi ditaburkan
Arung membasah dan bercampur dengan tanah. Nisan putih yang tadinya bersih
mulai terciprati lumpur. Arung mengusapnya lamat-lamat. Perlahan, dia rebah
sampai sisi kanan tubuhnya bersentuhan dengan tanah.
Tiga bulan yang
lalu, Karin terbangun dari koma. Arung senang bukan main, seperti ada himpitan
yang tahu-tahu melonggar begitu saja. Dia menggenggam lembut jemari gadis itu.
Keduanya saling tersenyum dan memandang untuk waktu yang lama.
“Kamu mirip sleeping beauty kalau lagi tidur lama,”
Arung tertawa kecil.
Seleret air mata
merembes menjatuhi bantal alas kepala Karin. Gadis itu menghela nafas seolah bersiap
untuk kalimat panjang, “Kalau kamu kehilangan aku ... rasanya gimana?”
Arung tercekat. Dadanya terhimpit
tanpa bisa mengatakan apa-apa.
“Aku nggak tahu,” katanya kemudian.
“Aku nggak bisa membayangkan bagaimana rasanya.” Nafas Arung tersengal.
Karin hanya tersenyum, nafasnya
terhembus begitu pelan. Tangan Arung bergerak perlahan mengusap dahi dan
anak-anak rambutnya. Pada gulir detik yang sama, dia merasa ruangan kamar rumah
sakit berangsur menjadi dingin. Hening. Hati Arung mencelos ketika menatap
lekat mata karin. Kedua kristal itu berkedip lemah. Kemudian ketika Karin terpejam
lebih lama daripada seharusnya, sekujur tubuh Arung melemas. Air mata merebak
di kedua pipinya.
Kadang, Arung berharap bisa sekali
lagi bertemu Karin entah di tempat bernama apa. Sekadar untuk menggenggam lagi
telapak tangannya, atau untuk menatap lekat bola matanya. Kemudian, jika Karin
kembali bertanya; Kalau kamu kehilangan
aku, rasanya gimana? Arung sudah tahu bagaimana menjawabnya. ***
Jember, Oktober 2012
haloooo urang aring :p
BalasHapusArung. >,<
BalasHapusPikir endingnya itu Arung bakalan nonton film dokumentar yang Aring buatin. Dan secara tidak langsung dia sadar bahwa Arung yang tak mau dipanggil karin sama Aring tahu bahwa Arung memang tak membutuhkan jawabn "enggak tahu" :D
BalasHapusTry not to cry... Errrr~ I can't :') Oh God...
BalasHapusNinuk, lama nggak posting?
BalasHapus