Yang paling bikin sesak itu,
kalau kau menyukai seorang cewek tapi harus pura-pura jual mahal. Ah, aku
bingung menjelaskannya. Langsung saja kuperkenalkan kau padanya. Itu dia, arah
jam tiga! Cewek berponi dengan seragam kebesaran yang muncul dengan anggun dari
balik kelas IPA. Dia berjalan, semakin dekat menuju tempatku berada.
“Eh, ada Sabilaaa ....”
“Wah, tumben ke sini. Nyari
Inod ya?”
Bogel dan Tino meneriakinya
begitu cewek itu benar-benar datang ke tempat nongkrong kami. Inod itu aku, by
the way. Dan Salsabila adalah namanya. Entah sejak kapan, gojlokan
Inod-Salsabila sudah menjadi tema favorit jika kami sedang tanpa sengaja berada
di tempat yang sama.
Dan ngomong-ngomong, memang
tumben, dalam rangka apa Salsabila mendatangi warung kumuh tempat cowok-cowok
bengal nongkrong?
Ada setidaknya tujuh cowok
(tidak baik-baik) di tempat ini. Tiga diantaranya duduk di meja yang sama
denganku. Tiga lainnya adalah siswa kelas tiga, duduk di meja yang tak terlalu
jauh karena warung Pak Bus memang kecil. Suara gelak tawa dan lelucon-lelucon
tidak bermutu kerap terdengar dari kami. Tapi itu sudah biasa. Yang tidak biasa
justru kedatangan cewek rapi yang semanis Salsabila. Sejauh ini, biasanya cewek
datang hanya untuk membeli permen atau teh botol. Itupun jarang-jarang. Ketika
kutahu Salsabila bukannya mengambil permen dari toples, dan malah berjalan
masuk hingga mendekat ke meja kami, aku terkejut.
“Sudah kulaporkan pada Bu Rina
bahwa kamu yang menaruh permen karet di kursi guru.”
Sejenak, warung Pak Bus
menjadi sunyi demi mendengar nada lantang yang begitu menuduh itu. Aku
memicing. Menatap betapa tajam raut muka cewek itu sementara tangannya berkacak
pinggang. Dia bicara padaku. Tepat menatap kedua manik mataku.
“Lalu?” Aku melempar tawa
sinis. Lagaknya seperti hakim kelas dunia saja.
“Seisi kelas tahu kamu
pelakunya tapi nggak ada yang berani bicara. Seperti yang mungkin kamu mau, Bu
Rina akan mogok mengajar kalau nggak ada yang mengaku. Tapi aku melaporkanmu,
maaf.” Dia membalas tawa sinisku dengan sangat profesional. “Jadi kamu
diperintahkan menghadap. Segera. Karena kalau enggak—“
“—kalau enggak kenapa?”
kupotong rentetan kalimatnya dengan suara berat yang tertahan. “Aku bisa masuk
neraka kalau nggak menghadap Bu Rina? Atau motorku akan terbakar? Atau apa yang
lebih sial daripada bertemu orang sok tahu seperti kamu setiap hari, hm?”
Byuurrr!!!
Sesuatu mengguyur wajahku. Dingin.
Kukenali baunya sebagai es teh yang beberapa menit yang lalu masih bertengger
manis di meja Bogel. Sekarang benda cair itu merembes membanjiri wajahku. Lebih
ekstrim daripada efek keringat yang muncul setelah aku bermain bola dua
permainan sekalipun. Basah. Manis. Lengket. Dan aku malu luar biasa ketika
bahkan Pak Bus menganga melihat bagaimana aku diperlakukan demikian hina.
“Nggak ada yang lebih sial
daripada jadi pengecut.” Kulihat Salsabila masih memegang gelas sisa es teh
manis yang dituangkannya di kepalaku. “Kamu hanya pintar bolos dan berulah.
Seenggaknya masuk dan duduklah di dalam kelas kalau kamu memang punya tujuan
kenapa menaruh permen karet di kursi guru!”
Warung makin sunyi. Semua
orang memperhatikan bagaimana Salsabila meletakkan keras-keras gelas es teh
itu, lalu dia berbalik dan pergi berlalu. Beberapa detik kemudian seisi warung
meledak oleh tawa terbahak dan sejumlah jari yang menunjuk-nunjuk tepat ke
wajahku. Aku diam. Sungguh mati merasa sangat terhina. Salsabila yang angkuh
itu semakin menambah alasan kenapa aku tidak patut menyatakan padanya kalimat aku
sayang padamu.
Memalukan. Mestinya tidak
kuperkenalkan dulu dia padamu, Brey.
***
Aku tahu hampir semua murid
tidak suka diajar Bu Rina. Guru Kimia sok killer itu hanya bisa memberi
tugas, ulangan, nilai, dan hukuman seenaknya. Tadinya aku berminat masuk kelas
IPA. Aku penyuka ilmu eksak seperti Fisika dan Matematika. Tapi aku frustasi
ketika kutemukan betapa rumitnya Kimia jika ilmu itu disalurkan dari tangan Bu
Rina. Dia tidak menjelaskan mengapa sebuah reaksi bisa disebut oksidasi dan
mengapa di sisi lain juga bisa terjadi reduksi. Yang dia senang lakukan hanyalah
masuk kelas, berbasa-basi, lalu menunjuk halaman berapa yang harus kami
pelajari sendiri. Ya, dia bilang memang seharusnya kami belajar sendiri.
Sungguh. Guru satu itu
membuatku benar-benar ingin menerbangkannya ke Himalaya. Bukankah sudah cukup
baik bahwa selama ini aku tidak menjadi pengacau ketika dia mengajar? Aku tidak
akan menaruh dendam, sungguh, kalau saja beberapa hari yang lalu dia tidak
dengan sengaja memberiku nilai nol untuk pekerjaan rumah yang dia bilang—hasil
mencontek.
Bah!
“Jawabanmu sama persis dengan
milik Andi, Doni,” katanya dengan suara cempreng yang membahana.
Doni itu namaku, by the way.
Sementara teman akrabku lebih suka memanggilku Inod. Kami senang membalik-balik
nama. Dan Inod terdengar jauh lebih keren dibanding Doni.
“Jadi?” Aku bahkan menekankan
nada bicaraku ketika bicara dengan Bu Rina.
“Kamu mencontek. Sudah Ibu
bilang, Ibu tidak suka kalian mencontek.”
Aku ingat ketika itu
kulemparkan tawa sinis. “Semua jawaban benar jelas-jelas sama. Bukannya eksak
memang seperti itu?”
“Iya, tapi cara menulis dan
penyusunan unsur yang kamu buat sama persis. Ini aneh sekali. Padahal—“
Aku mengangkat alis. Menatap
tajam ketika guru itu bicara, sampai kemudian seseorang mengacungkan tangan.
“Maaf, Bu,” terdengar sebuah
suara lantang. Itu Salsabila.
“Ya?” Bu Rina menatap tak
suka.
“Saya rasa Doni bisa
mengerjakan soal secara langsung di depan kelas. Untuk membuktikan bahwa dia
tidak mencontek.”
“Oh, tidak perlu. Tidak perlu.
Ibu sangat mengerti kapasitas murid Ibu. Bukannya di ulangan kemarin Doni salah
satu yang mendapat nilai dua puluh?”
“Semua murid juga mendapat dua
puluh waktu itu,” geramku.
“Yayaya, dan sekarang hampir
semua murid mendapat seratus. Ibu yakin ada konspirasi di sini. Kalian pasti
mencontek. Tidak hanya Doni, tapi kalian semua. Jadi mari kita adakan ulangan
lagi. Minggu depan. Oh tidak. Rabu depan.”
Seisi kelas dipenuhi gaung
tidak menyenangkan. Mereka mengumpat dan merutuk dalam bahasa sekenanya. Sebal.
Beberapa menghentak-hentakkan kakinya ke lantai. Beberapa mencorat-coret buku.
Beberapa lagi mengetuk-ngetuk meja dengan gemas. Hampir semuanya ribut. Tapi
kulihat Salsabila hanya diam. Cewek itu selalu punya sikap berbeda. Aku tidak
bisa menebak apa yang sedang dipikirkannya.
Ketika tiga hari kemudian
teman-teman sekelasku melihat bagaimana aku menaruh sisa kunyahan permen
karetku di kursi guru, mereka berteriak dan memekik senang. Alisa mengepalkan
tangan ke udara sambil berteriak ‘Hidup Inod, Hidup Inod,’ sebanyak lima kali.
Aku tertawa bangga. Tidak ada yang lebih membahagiakan dari tindak kejahatan
yang mendapatkan banyak pendukung. Ketika itu kulihat Salsabila turut menahan
tawa. Aku yakin dia juga ingin meneriakkan yel-yel ‘Hidup Inod’ tetapi
terlanjur gengsi untuk melakukannya. Maka ketika kudengar dari Bogel dan Tino bahwa
Bu Rina akan segera tiba, kuputuskan untuk melenggang ke luar kelas.
“Heh, kamu mau ke mana?”
sergah Salsabila ketika aku hampir mencapai pintu.
“Ciyeeeeeh ....” teman-temanku
bersorak. Hey, kelas sudah terisi penuh dan Salsabila bicara padaku. Tindakan
apa yang lebih cari mati daripada itu?
“Kenapa? Mau ikut?” ucapku
dengan nada paling menyebalkan.
Wajah Salsabila memerah. Dia
pasti akan berfikir tiga kali untuk menjawab lagi pertanyaanku. Sebelum dia
mengeluarkan himbauan memuakkan seperti ‘Duhai anak muda, sesungguhnya
orang-orang membolos adalah orang yang merugi’, kutinggalkan dia. Toh permen
karetku sudah siap menyambut Bu Rina yang akan segera datang dengan setumpuk
kertas ulangan.
***
Berita bahwa Bu Rina tidak mau
mengajar kelas XA gara-gara permen karet yang menempel di rok safarinya sudah
menyebar hingga ke kelas-kelas tetangga. Tapi sialnya, berita yang lebih senang
dibahas justru adalah Inod yang basah kuyup, melongo dan menganga seperti orang
bodoh ketika Salsabila menuangkan es teh ke kepalanya.
Tidak ada yang tahu siapa yang
benar-benar berdosa.
Aku geram pada Bu rina. Geram
pada Salsabila. Tetapi lebih geram pada diriku sendiri ketika menyadari bahwa
apa yang dikatakan Salsabila memang ada benarnya. Pengecut, katanya? Tidak ada
kata itu dalam kamusku. Maka dengan sangat berat hati kuketuk pintu ruang guru
untuk menemui Bu Rina. Terkutuklah kau jika berani bertanya apa yang terjadi
padaku setelahnya.
***
“Mestinya Bu Rina tahu kalau
permen karet juga salah satu bentuk kritik,” rutukku sambil mengayunkan tongkat
pel ke lantai toilet.
Oh ya, dengan sangat
mengurangi banyak hormat kuceritakan juga padamu hukuman ini. Seperti anak
sekolah kebanyakan yang melanggar peraturan, aku diperintahkan membersihkan
toilet sekolah. Ini menyebalkan. Dan aku tidak berhenti mengumpat sampai ketika
jam istirahat berbunyi, aku melihat Salsabila datang. Dia tersenyum tulus tanpa
ekspresi permusuhan. Setelah membiarkanku banyak merutuk, disodorkannya teh
botol yang telah diberi sedotan. Aku mengambilnya, bingung bagaimana
mengucapkan terimakasih.
“Aku tahu tujuanmu baik,” dia
meraih alat pel di tanganku sementara aku meneguk dengan cepat teh botol
pemberiannya.
Aku tertawa sinis, seperti
biasa. “Tapi aku juga tahu tujuanmu lebih baik. Kamu bahkan nggak minta maaf.”
Salsabila tertawa. “Kamu nggak
marah, jadi aku nggak perlu minta maaf. Lagipula kamu memang pantas dihukum
supaya berhenti membolos.”
Kali ini aku tertawa
keras-keras. “Bilang aja kamu juga pingin bolos,” candaku sambil mengambil
kembali alat pelku dari tangannya. “Kapan-kapan kuajak deh,”
Salsabila memberengut. “Bukan
itu maksudnya.”
Aku tergelak, “Udah sana
minggir, aku mau lanjut ngepel.”
Tetapi Salsabila tidak pergi.
Dia menungguku selesai mengepel ketika tahu bahwa pelajaran Matematika sedang
kosong. Kami mengobrol seperti dua teman lama. Tidak ada yang akan menyoraki
kami setelah ini. Kalaupun ada aku tidak akan lagi peduli. Salsabila adalah
teman menyebalkan sekaligus paling manis yang pernah kukenal. Sungguh. Mestinya
sekaranglah waktu yang tepat untuk memperkenalkannya kepadamu, Brey.
Yayaya. Mari kuperkenalan dia.
Namanya Salsabila. Teman sekelas yang kusuka sejak lama.[]
Cerpen Ninuk Anggasari
Jember, Mei 2012
dimuat di Hai edisi pertengahan Juli 2012
idiiiihhhh, mantebb
BalasHapus