SALSABILA - AngeLinuks

Sedang mencoba terus berbenah. Hope you enjoy it. :)

Latest Update
Fetching data...

Selasa, 14 Agustus 2012

SALSABILA


Yang paling bikin sesak itu, kalau kau menyukai seorang cewek tapi harus pura-pura jual mahal. Ah, aku bingung menjelaskannya. Langsung saja kuperkenalkan kau padanya. Itu dia, arah jam tiga! Cewek berponi dengan seragam kebesaran yang muncul dengan anggun dari balik kelas IPA. Dia berjalan, semakin dekat menuju tempatku berada.
“Eh, ada Sabilaaa ....”
“Wah, tumben ke sini. Nyari Inod ya?”
Bogel dan Tino meneriakinya begitu cewek itu benar-benar datang ke tempat nongkrong kami. Inod itu aku, by the way. Dan Salsabila adalah namanya. Entah sejak kapan, gojlokan Inod-Salsabila sudah menjadi tema favorit jika kami sedang tanpa sengaja berada di tempat yang sama.
Dan ngomong-ngomong, memang tumben, dalam rangka apa Salsabila mendatangi warung kumuh tempat cowok-cowok bengal nongkrong?
Ada setidaknya tujuh cowok (tidak baik-baik) di tempat ini. Tiga diantaranya duduk di meja yang sama denganku. Tiga lainnya adalah siswa kelas tiga, duduk di meja yang tak terlalu jauh karena warung Pak Bus memang kecil. Suara gelak tawa dan lelucon-lelucon tidak bermutu kerap terdengar dari kami. Tapi itu sudah biasa. Yang tidak biasa justru kedatangan cewek rapi yang semanis Salsabila. Sejauh ini, biasanya cewek datang hanya untuk membeli permen atau teh botol. Itupun jarang-jarang. Ketika kutahu Salsabila bukannya mengambil permen dari toples, dan malah berjalan masuk hingga mendekat ke meja kami, aku terkejut.
“Sudah kulaporkan pada Bu Rina bahwa kamu yang menaruh permen karet di kursi guru.”
Sejenak, warung Pak Bus menjadi sunyi demi mendengar nada lantang yang begitu menuduh itu. Aku memicing. Menatap betapa tajam raut muka cewek itu sementara tangannya berkacak pinggang. Dia bicara padaku. Tepat menatap kedua manik mataku.
“Lalu?” Aku melempar tawa sinis. Lagaknya seperti hakim kelas dunia saja.
“Seisi kelas tahu kamu pelakunya tapi nggak ada yang berani bicara. Seperti yang mungkin kamu mau, Bu Rina akan mogok mengajar kalau nggak ada yang mengaku. Tapi aku melaporkanmu, maaf.” Dia membalas tawa sinisku dengan sangat profesional. “Jadi kamu diperintahkan menghadap. Segera. Karena kalau enggak—“
“—kalau enggak kenapa?” kupotong rentetan kalimatnya dengan suara berat yang tertahan. “Aku bisa masuk neraka kalau nggak menghadap Bu Rina? Atau motorku akan terbakar? Atau apa yang lebih sial daripada bertemu orang sok tahu seperti kamu setiap hari, hm?”
Byuurrr!!!
Sesuatu mengguyur wajahku. Dingin. Kukenali baunya sebagai es teh yang beberapa menit yang lalu masih bertengger manis di meja Bogel. Sekarang benda cair itu merembes membanjiri wajahku. Lebih ekstrim daripada efek keringat yang muncul setelah aku bermain bola dua permainan sekalipun. Basah. Manis. Lengket. Dan aku malu luar biasa ketika bahkan Pak Bus menganga melihat bagaimana aku diperlakukan demikian hina.
“Nggak ada yang lebih sial daripada jadi pengecut.” Kulihat Salsabila masih memegang gelas sisa es teh manis yang dituangkannya di kepalaku. “Kamu hanya pintar bolos dan berulah. Seenggaknya masuk dan duduklah di dalam kelas kalau kamu memang punya tujuan kenapa menaruh permen karet di kursi guru!”
Warung makin sunyi. Semua orang memperhatikan bagaimana Salsabila meletakkan keras-keras gelas es teh itu, lalu dia berbalik dan pergi berlalu. Beberapa detik kemudian seisi warung meledak oleh tawa terbahak dan sejumlah jari yang menunjuk-nunjuk tepat ke wajahku. Aku diam. Sungguh mati merasa sangat terhina. Salsabila yang angkuh itu semakin menambah alasan kenapa aku tidak patut menyatakan padanya kalimat aku sayang padamu.
Memalukan. Mestinya tidak kuperkenalkan dulu dia padamu, Brey.
***
Aku tahu hampir semua murid tidak suka diajar Bu Rina. Guru Kimia sok killer itu hanya bisa memberi tugas, ulangan, nilai, dan hukuman seenaknya. Tadinya aku berminat masuk kelas IPA. Aku penyuka ilmu eksak seperti Fisika dan Matematika. Tapi aku frustasi ketika kutemukan betapa rumitnya Kimia jika ilmu itu disalurkan dari tangan Bu Rina. Dia tidak menjelaskan mengapa sebuah reaksi bisa disebut oksidasi dan mengapa di sisi lain juga bisa terjadi reduksi. Yang dia senang lakukan hanyalah masuk kelas, berbasa-basi, lalu menunjuk halaman berapa yang harus kami pelajari sendiri. Ya, dia bilang memang seharusnya kami belajar sendiri.
Sungguh. Guru satu itu membuatku benar-benar ingin menerbangkannya ke Himalaya. Bukankah sudah cukup baik bahwa selama ini aku tidak menjadi pengacau ketika dia mengajar? Aku tidak akan menaruh dendam, sungguh, kalau saja beberapa hari yang lalu dia tidak dengan sengaja memberiku nilai nol untuk pekerjaan rumah yang dia bilang—hasil mencontek.
Bah!
“Jawabanmu sama persis dengan milik Andi, Doni,” katanya dengan suara cempreng yang membahana.
Doni itu namaku, by the way. Sementara teman akrabku lebih suka memanggilku Inod. Kami senang membalik-balik nama. Dan Inod terdengar jauh lebih keren dibanding Doni.
“Jadi?” Aku bahkan menekankan nada bicaraku ketika bicara dengan Bu Rina.
“Kamu mencontek. Sudah Ibu bilang, Ibu tidak suka kalian mencontek.”
Aku ingat ketika itu kulemparkan tawa sinis. “Semua jawaban benar jelas-jelas sama. Bukannya eksak memang seperti itu?”
“Iya, tapi cara menulis dan penyusunan unsur yang kamu buat sama persis. Ini aneh sekali. Padahal—“
Aku mengangkat alis. Menatap tajam ketika guru itu bicara, sampai kemudian seseorang mengacungkan tangan.
“Maaf, Bu,” terdengar sebuah suara lantang. Itu Salsabila.
“Ya?” Bu Rina menatap tak suka.
“Saya rasa Doni bisa mengerjakan soal secara langsung di depan kelas. Untuk membuktikan bahwa dia tidak mencontek.”
“Oh, tidak perlu. Tidak perlu. Ibu sangat mengerti kapasitas murid Ibu. Bukannya di ulangan kemarin Doni salah satu yang mendapat nilai dua puluh?”
“Semua murid juga mendapat dua puluh waktu itu,” geramku.
“Yayaya, dan sekarang hampir semua murid mendapat seratus. Ibu yakin ada konspirasi di sini. Kalian pasti mencontek. Tidak hanya Doni, tapi kalian semua. Jadi mari kita adakan ulangan lagi. Minggu depan. Oh tidak. Rabu depan.”
Seisi kelas dipenuhi gaung tidak menyenangkan. Mereka mengumpat dan merutuk dalam bahasa sekenanya. Sebal. Beberapa menghentak-hentakkan kakinya ke lantai. Beberapa mencorat-coret buku. Beberapa lagi mengetuk-ngetuk meja dengan gemas. Hampir semuanya ribut. Tapi kulihat Salsabila hanya diam. Cewek itu selalu punya sikap berbeda. Aku tidak bisa menebak apa yang sedang dipikirkannya.
Ketika tiga hari kemudian teman-teman sekelasku melihat bagaimana aku menaruh sisa kunyahan permen karetku di kursi guru, mereka berteriak dan memekik senang. Alisa mengepalkan tangan ke udara sambil berteriak ‘Hidup Inod, Hidup Inod,’ sebanyak lima kali. Aku tertawa bangga. Tidak ada yang lebih membahagiakan dari tindak kejahatan yang mendapatkan banyak pendukung. Ketika itu kulihat Salsabila turut menahan tawa. Aku yakin dia juga ingin meneriakkan yel-yel ‘Hidup Inod’ tetapi terlanjur gengsi untuk melakukannya. Maka ketika kudengar dari Bogel dan Tino bahwa Bu Rina akan segera tiba, kuputuskan untuk melenggang ke luar kelas.
“Heh, kamu mau ke mana?” sergah Salsabila ketika aku hampir mencapai pintu.
“Ciyeeeeeh ....” teman-temanku bersorak. Hey, kelas sudah terisi penuh dan Salsabila bicara padaku. Tindakan apa yang lebih cari mati daripada itu?
“Kenapa? Mau ikut?” ucapku dengan nada paling menyebalkan.
Wajah Salsabila memerah. Dia pasti akan berfikir tiga kali untuk menjawab lagi pertanyaanku. Sebelum dia mengeluarkan himbauan memuakkan seperti ‘Duhai anak muda, sesungguhnya orang-orang membolos adalah orang yang merugi’, kutinggalkan dia. Toh permen karetku sudah siap menyambut Bu Rina yang akan segera datang dengan setumpuk kertas ulangan.
***
Berita bahwa Bu Rina tidak mau mengajar kelas XA gara-gara permen karet yang menempel di rok safarinya sudah menyebar hingga ke kelas-kelas tetangga. Tapi sialnya, berita yang lebih senang dibahas justru adalah Inod yang basah kuyup, melongo dan menganga seperti orang bodoh ketika Salsabila menuangkan es teh ke kepalanya.
Tidak ada yang tahu siapa yang benar-benar berdosa.
Aku geram pada Bu rina. Geram pada Salsabila. Tetapi lebih geram pada diriku sendiri ketika menyadari bahwa apa yang dikatakan Salsabila memang ada benarnya. Pengecut, katanya? Tidak ada kata itu dalam kamusku. Maka dengan sangat berat hati kuketuk pintu ruang guru untuk menemui Bu Rina. Terkutuklah kau jika berani bertanya apa yang terjadi padaku setelahnya.
***
“Mestinya Bu Rina tahu kalau permen karet juga salah satu bentuk kritik,” rutukku sambil mengayunkan tongkat pel ke lantai toilet.
Oh ya, dengan sangat mengurangi banyak hormat kuceritakan juga padamu hukuman ini. Seperti anak sekolah kebanyakan yang melanggar peraturan, aku diperintahkan membersihkan toilet sekolah. Ini menyebalkan. Dan aku tidak berhenti mengumpat sampai ketika jam istirahat berbunyi, aku melihat Salsabila datang. Dia tersenyum tulus tanpa ekspresi permusuhan. Setelah membiarkanku banyak merutuk, disodorkannya teh botol yang telah diberi sedotan. Aku mengambilnya, bingung bagaimana mengucapkan terimakasih.
“Aku tahu tujuanmu baik,” dia meraih alat pel di tanganku sementara aku meneguk dengan cepat teh botol pemberiannya.
Aku tertawa sinis, seperti biasa. “Tapi aku juga tahu tujuanmu lebih baik. Kamu bahkan nggak minta maaf.”
Salsabila tertawa. “Kamu nggak marah, jadi aku nggak perlu minta maaf. Lagipula kamu memang pantas dihukum supaya berhenti membolos.”
Kali ini aku tertawa keras-keras. “Bilang aja kamu juga pingin bolos,” candaku sambil mengambil kembali alat pelku dari tangannya. “Kapan-kapan kuajak deh,”
Salsabila memberengut. “Bukan itu maksudnya.”
Aku tergelak, “Udah sana minggir, aku mau lanjut ngepel.”
Tetapi Salsabila tidak pergi. Dia menungguku selesai mengepel ketika tahu bahwa pelajaran Matematika sedang kosong. Kami mengobrol seperti dua teman lama. Tidak ada yang akan menyoraki kami setelah ini. Kalaupun ada aku tidak akan lagi peduli. Salsabila adalah teman menyebalkan sekaligus paling manis yang pernah kukenal. Sungguh. Mestinya sekaranglah waktu yang tepat untuk memperkenalkannya kepadamu, Brey.
Yayaya. Mari kuperkenalan dia. Namanya Salsabila. Teman sekelas yang kusuka sejak lama.[]

 Cerpen Ninuk Anggasari
Jember, Mei 2012

dimuat di Hai edisi pertengahan Juli 2012
 

1 komentar:


EmoticonEmoticon